'Kalau sudah besar mau jadi apa?'
'Cita-citamu apa?'
Pertanyaan ini membayangi saya beberapa pekan belakangan. Gara-gara sering mendengarkan dan menjelaskan pada siswa tentang dunia perkuliahan, saya jadi kepikiran, Rasya mau jadi apa ya kalau besar nanti? Rasya kuliah di mana? Nanti dia kerja apa?
Suami saya cuma komentar begini, "Sekarang aja masih belajar jalan!"
Saya sih mesem-mesem, habis gimana lagi. Setiap hari kerjanya konsultasi tentang kuliah dan kerja, saya pun ikutan mikirin hal yang sebetulnya memang masih jaaaaaaaaauuuuuuuuhhhhhhhh banget! Tapi beneran deh, mulesnya sudah dari sekarang, apalagi kalau berhitung soal biaya kuliah. OMG! *tutup muka pakai buku tabungan*
Kebanyakan orang tua memendam hasrat ingin mengarahkan dan membentuk anaknya menjadi ini itu, sesuai cita-cita masa kecil yang nggak kesampaian. Itu pun berlaku dalam diri saya, yang sempat melirik ke Fakultas Seni Rupa Desain ITB (ITB adalah kampus impian Papa saya), tapi langsung jiper begitu membandingkan antara kemampuan mahasiswa ITB dan diri sendiri. Tahu diri deh, kemampuan menggambar saya mah standar, rata-rata doank. Saya pun berakhir di Fakultas Psikologi UGM, dan siapa kira di situlah saya menemukan cikal bakal passion saya. Passion inilah yang kemudian digenjot habis-habisan ketika saya digembleng oleh Emak Ratih Ibrahim di Personal Growth.
Berkaca pada diri sendiri, saya besar di keluarga yang cukup suportif untuk urusan cita-cita. Err...setidaknya sih dalam versi saya. Meskipun nggak bisa dibilang mulus juga, apalagi begitu masuk dunia kerja, arahan orang tua itu banyak banget. Saya sendiri sangat keras dan memegang teguh pendirian, kalau saya tidak mau masuk perusahaan, ya tetap tidak mau. Sama seperti ketika saya diharuskan masuk IPA, sementara saya lebih suka di IPS. Itu semua saya buktikan dengan menjadi yang terbaik di IPS. Pun saat bekerja. Awalnya mah dianggap biasa saja, tetapi justru di Personal Growth saya belajar banyak hal sekaligus menunjukkan bahwa pekerjaan itu betul-betul 'menghasilkan', ya uang, prestise, dan paling utama kepuasan batin :)
Maka, saya pun menyampaikan pada siswa, bahwa penting untuk kenal passion! Memilih jurusan bukan sekadar jurusan favorit atau ikut teman, tetapi karena tahu betul minat kita di situ. Mengutip kata seorang rekan Alanda Kariza dalam buku Dream Catcher, pertanyaan yang tepat untuk mengetahui passion adalah berikut ini.
What is the activity that will make you feel like dying IF you are FORBIDDEN to do it for the rest of your life?
Ibarat udara, maka passion adalah sumber nafas kita dan kita akan sekarat jika tak boleh melakukan itu sama sekali! Benar 'kan?
Saya butuh perjalanan hampir 10 tahun untuk betul-betul memantapkan hati dan menetapkan pilihan, passion saya sebenarnya di mana. Ada orang yang sejak kecil sudah tahu mau jadi apa, tapi banyak pula yang baru menemukan 'tambatan hati' itu pada usia produktif. We choose our path by know our passion. Waktunya itu yang akan berbeda pada setiap orang.
Untuk Rasya, saya dan suami sepakat akan membebaskannya memilih yang ia suka. Meski pekerjaan kami berdua kini terkesan 'resmi' banget, kami tetap punya hobi yang nyeni, hehehe. Suami dengan fotografi, saya dengan tulis menulis. Sebetulnya kami berdua sama-sama bisa menggambar (gambar karya suami lebih keren!). Saya sih yakin kalau Rasya ketularan gen seni itu *sok tahu deh*
Tugas saya dan suami adalah memberi Rasya stimulasi yang tepat. Harapannya, ia bisa mengeksplorasi seluruh potensi yang ia miliki dan mengembangkannya menjadi keterampilan yang ia kuasai dengan baik. Jika saya sedang penasaran ingin mencoba finger painting dengan cat yang bisa 'dimakan' seperti ini, maka suami sudah nyolong start untuk urusan modelling dan fotografi. Rasya cocok jadi model juga 'kan? :D
Jepretan si Ayah |
Jepretan si Mama, ketahuan deh mana yang amatir :p |
Nah, Rasya mau jadi apa kalau besar nanti? :*
Dit, gue termasuk yang galau lho.. Passion gue sebenernya jadi perancang baju alias fashion designer, cuma jaman dulu ESMOD kurang beken (baca: menjanjikan) dan gak ada S1-nya pula. Alm bokap bilang kalo pengacara (misalnya), yang punya gelar S1 gagal, dia bisa jadi designer. Nah kalo designer (si ESMOD yang tanpa gelar S1) ini gagal, mau jadi apa?
ReplyDeleteAkhirnya gue masuk kuliah DKV deh demi S1, begitu ditengah, gue sadar kayaknya gue lebih suka buat konsep untuk visual daripada bikin visual aja haha.. Trus pas gue lanjut kuliah di luar, gue ngerasa urusan konsep aja kurang pas, gue mau spesifik di retail. Nah baru skrg gue ngerasa ooh ini passion gue. Justru gue tau pada saat disertasi, dimana gue melenceng sendiri, tapi yg justru bikin prof gue salut.
Sementara untuk Saif, gue pengn dia ngelanjutin harapan terputus gue, jadi.. Dokter hewan hahaha.. Dari kecil gue ngimpi jadi Vet, hanya kandas karna gue serem untuk ngejalanin prosesnya hihii..
Tapi yah kita cuma bisa membimbing, keputusan hanya si anak yang tau. Walo gue dalam hati sih 75% yakin anak gue bakal kayak bapaknya yang IT geek. Pheww..
hihihi, balik lagi ke lingkungannya ya My, stimulasi apa yang turut merangsang potensi si anak. klo sehari2 Saif melihat bapaknya yang IT geek begitu, ya mungkin aja jadinya nggak jauh dari itu juga. karena terbiasa. so, jika lo berharap Saif jadi dokter hewan, dari sekarang bisa kok dibiasakan berinteraksi dengan hewan :) bukan 'memaksa' lho, tapi bantu mengarahkan. pada akhirnya, tetap si anak yang memilih. tugas kita sebagai ortu cuma memberikan stimulasi sedini mungkin agar potensi dirinya tergarap :D
Delete