Sunday, February 24, 2019

Persiapan Pernikahan, Yuk Diskusikan 8 Hal Ini dengan Pasangan!




Menyiapkan pernikahan bukan sekadar persiapan untuk pesta sehari semalam yang tak terlupakan. Memburu-buru pernikahan juga bukan semata demi yang ena’-ena’ saja.

Persiapan pernikahan juga bukan melulu soal materi. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan dan diskusikan bersama pasangan, sebab pernikahan justru awal dari misi kehidupan kita selanjutnya: menjaga komitmen seumur hidup.

Saya yakin, teman-teman sudah cukup paham bahwa pernikahan itu bukanlah dongeng cinta-cintaan yang berakhir happy ending. Kebahagiaan dalam pernikahan nggak bisa terjadi secara ajaib, tetapi harus diusahakan bersama oleh kita dan pasangan.

Jadi, ya, modal cinta mati doang dan rela berkorban apapun nggak menjamin pernikahan berjalan mulus. Butuh lebih dari itu.

Bahkan, usaha itu harus mulai dilakukan jauh-jauh hari sebelum tanggal hari H pernikahan ditentukan, atau sebelum kita berpikir untuk menikah. Apa saja sih yang harus kita diskusikan dengan pasangan?

Sebelum masuk ke bagian itu, lebih dulu camkan ini dalam diri kita.

Deal with yourself before you deal with others.

Masih ingat kan? Kutipan dari psikolog ternama, Ratih Ibrahim, ini saya pegang teguh selalu dalam berbagai hal, mulai dari urusan diri sendiri, relasi dengan orang lain, pernikahan, hingga menjadi orang tua.

Ya, lebih dulu kita sudah membereskan isu-isu pribadi sebelum menantang diri untuk membangun pernikahan. Beberapa contohnya adalah:
  1.  Tahu persis kelebihan dan kekurangan diri sendiri
  2. Tahu bagaimana meregulasi emosi diri
  3. Mandiri, bisa mengambil keputusan sendiri, dan memecahkan masalah pribadi sendiri
  4. Percaya diri
  5. Sudah puas menyenangkan diri sendiri

Kalau kita sudah punya self-love, mudah bagi kita untuk berlanjut ke hubungan yang lebih serius. Beberapa isu bisa jadi muncul saat bertemu pasangan, misalnya bagaimana membangun rasa percaya atau berkomunikasi efektif dengan pasangan. Nggak apa-apa, justru begitu berbenturan dan masalah itu muncul, kita jadi terdorong untuk menyelesaikannya.

Hal terpenting adalah saat kita bertemu pasangan, yang bakal jadi pasangan seumur hidup, kita sudah punya kualitas diri yang oke: self-love, harga diri, percaya diri, dan kemandirian. Jadi, kita bisa jaga diri sendiri dan berani bilang ‘tidak’ andai pasangan melakukan sesuatu yang melanggar batas atau kesepakatan, misalnya.

Photo by Roman Kraft on Unsplash


Nah, kalau diri kita pun sudah matang, membina hubungan serius ke jenjang pernikahan seharusnya lebih mudah. Namun, tetap saja, pernikahan yang bahagia dan langgeng itu sesuatu yang harus diusahakan bersama. Oleh karena itu, penting banget untuk membicarakan beberapa hal berikut dengan pasangan sebelum kita memantapkan diri untuk menikahinya.

Apa saja?

Bagaimana cara berkomunikasi
Dalam setiap hubungan, komunikasi adalah faktor terpenting yang mampu menjaga hubungan tersebut bertahan lama, termasuk dengan pasangan. Mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan secara jujur itu nggak mudah lho. Apalagi, kebanyakan dari kita seolah terbiasa untuk memendam hal-hal yang nggak enak dibicarakan secara terbuka, daripada ngomongin ini blak-blakan.

Namun, jika kita berniat serius dengan pasangan, maka komunikasikan semua isi hati dan pikiran secara jujur padanya. Jangan hanya mengatakan hal yang ingin dia dengar, atau hal-hal manis, semata demi menjaga kelanggengan hubungan.

Biasakan untuk bercerita apa adanya. Luangkan waktu di akhir hari untuk sekadar berbagi cerita apa yang terjadi hari itu. Di sela-sela kegiatan harian, sempetin untuk bertanya hal-hal kecil, seperti sudah makan belum, makan pakai apa, sedang di mana, pulang jam berapa, dll. Dengan komunikasi yang baik, ini jadi dasar pula bagi kita dan pasangan untuk menghadapi konflik yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Tentang rasa percaya
Tahu kan kenapa anak itu tetap kembali ke ayah ibunya meski baru kena badai omelan? Ya, karena anak percaya pada orang tuanya. Begitu juga dengan pasangan, rasa percaya adalah hal penting yang harus kita bangun bersama. Tanpa percaya, dasar untuk membangun kelekatan emosi yang lebih intens akan sulit. Capek lho hidup dalam hubungan yang dilandasi kecurigaan.

Rasa percaya itu tumbuh saat kita bisa mengekspresikan perasaan apapun pada seseorang, dari rasa gembira, sedih, kecewa, cemas, hingga marah. Kita tahu kita bisa percaya pada dia saat dia tetap peduli dan mau mendengarkan, tanpa judging berlebihan.

Ya, memang gampang sih “menutupi” semua hal demi terlihat baik-baik saja. Namun, apakah benar itu yang kita mau untuk sebuah hubungan pernikahan nanti? Justru ketika kita atau pasangan mulai menutup-nutupi suatu hal, tandanya rasa percaya itu mulai pudar.

Soal uang
Buka-bukaan soal uang itu perlu lho. Ya, kalau masih pacaran, mungkin kita happy aja pas dibayarin makanan, dihadiahin ini itu sama pacar, tanpa bertanya itu uangnya dia dapat dari mana. Lah, iya kalau uangnya hasil kerja halal, kalau hasil *amit-amit* merampok, misalnya?

Membicarakan uang memang sensitif, tetapi justru isu finansial yang sering jadi biang kerok perceraian. Peneliti Jeffrey Dew menemukan bahwa membicarakan soal keuangan penting karena perdebatan tentang ini nggak selalu tentang uang semata. Namun, juga merefleksikan bagaimana komitmen, rasa saling menghargai, kekuatan, dan juga keadilan dalam hubungan dengan pasangan.

Nggak perlu juga pegang ATM pasangan. Setidaknya, kita dan dia sama-sama terbuka soal kondisi keuangan masing-masing. Misalnya, berapa kisaran jumlah tabungan, investasi apa saja, punya utang/piutang ke mana, berapa pengeluaran per bulan, dll. Dengan berbagi dan berdiskusi sedini mungkin soal finansial, lebih mudah juga buat kita menetapkan tujuan finansial saat menikah nanti. Termasuk jika terjadi perubahan situasi mendadak, seperti usaha mandek, salah satu resign atau lanjut kuliah, atau hanya salah satu yang bekerja.

Soal perubahan diri
Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Sebelum dan sesudah menikah adalah dua dunia berbeda. Mustahil seseorang tidak akan berubah setelah melalui berbagai pengalaman hidup penting baginya. Kita dan pasangan sama-sama perlu mempersiapkan diri pada perubahan ini. Termasuk di dalamnya, perubahan sifat, karakter, perilaku, hingga berat badan!

Kepribadian seseorang bukanlah sesuatu yang menetap. Namun, perubahan itu harus datang dari diri sendiri, bukan kita yang mengubahnya. Jadi, lupakan soal menjadi pahlawan kesiangan karena berpikir kita bisa mengubah pasangan setelah menikah nanti. Lebih baik, coba diskusikan kalimat ini: apa yang akan kamu lakukan kalau suatu hari nanti aku berubah?

Tentang anak
Begini, menikah bukan hanya soal bikin anak karena bikinnya gampang, tapi butuh komitmen seumur hidup untuk mendidik anak. Jadi, sebelum kita serius menikah, coba ngomongin ini dengan pasangan. Bukan dimulai dengan berapa jumlah anak, tapi mau atau tidak punya anak!

Hargai keinginan pasangan soal pilihan anak. Menikah bukan hanya tentang bagaimana meneruskan garis keturunan (meski pada akhirnya urusan dapat anak, jumlah anak, itu semua kuasa Allah SWT), tetapi membangun kehidupan lewat komitmen seumur hidup dengan orang yang sama.

Ada orang bilang, nanti jadi orang tua akan siap sendiri kok. Sayangnya, tidak pernah ada sekolah jadi orang tua. Dan jadi orang tua butuh kesiapan fisik dan mental karena kita punya tanggung jawab membesarkan seorang manusia. Sudah banyak cerita anak yang ‘disia-siakan’ orang tua karena beragam hal. Begitu juga soal orang tua yang ‘memuja’ anak bak raja atau ratu. Maka, pembicaraan tentang anak WAJIB didiskusikan sebelum menikah!

Soal Karir
Keputusan apakah kita atau pasangan tetap bekerja setelah menikah itu harus didiskusikan dan disepakati bersama. Kalaupun misalnya pasangan meminta kita untuk di rumah saja, pastikan kita juga sudah berdamai dan bisa menerima hal itu. Jangan hanya bilang iya-iya saja demi bisa menikah, tetapi ketikan menjalaninya dengan berat hati, mengeluh, dan nggak ikhlas.

Pun kalau pasangan mengizinkan kita bekerja, buat kesepakatan tentang pengelolaan rumah tangga. Ya, memang abstrak sih jika ngobrol ini sebelum nikah. Namun, garis besarnya tetap bisa dibahas kok. Contoh, “Eh, nanti pas sudah nikah kamu saja yang masak ya? Aku masak air aja gosong lho.” Bisa juga, “Aku dan kamu kan sama-sama kerja nih. Gimana kalau kita bikin satu hari pas weekend untuk beres-beres rumah? Nyuci nyetrika mah ke laundry aja ya!”

Yaaaaa, mengharapkan obrolan dan kesepakatan itu terealisasi dengan baik 100% nyaris nggak mungkin sih. Namun, setidaknya kita dan pasangan sudah sama-sama tahu soal harapan terkait karir dan urusan rumah tangga. Jadi, sama-sama bisa menerima kenyataan pula dan ikhlas menjalaninya nanti.

Satu lagi, jangan kita bersikap mengecilkan peranan pasangan, sekalipun ia hanya di rumah saja. Bekerja dari dan di rumah itu berat lho. Jadi, tetap apresiasi pasangan, ucapkan terima kasih, belikan makanan favoritnya, atau ajak makan di luar. Begitu pula jika pasangan bekerja di luar rumah. Selalu dukung penuh apa yang ingin dilakukan pasangan, selama itu bagus untuk aktualisasi diri pasangan.

Tinggal di mana setelah menikah?
Ini hal teknis, tetapi PENTING BANGET diomongin. Karena kalau mau tinggal di rumah orang tua atau mertua, artinya sama-sama menyiapkan diri dan pasangan dengan pondok mertua indah. Plus, harus siap juga dengan banyak intervensi terkait kehidupan rumah tangga kita.

Tempat terbaik adalah punya rumah terpisah alias rumah sendiri. Bukan hanya supaya bisa mandiri dan mengandalkan satu sama lain, tetapi juga meminimalisir benturan dengan orang tua masing-masing. Lagipula, nggak enak kan mau ena’-ena’ tapi ruang gerak terbatas? :P

Soal kehidupan seks
Oh, ini jangan diobrolin dulu ding pas sebelum menikah. Namun, HARUS jadi salah satu bahan diskusi setelah resmi menikah. Begini, setelah menikah hubungan seks itu belum tentu berlangsung lancar. Apalagi, kita dan pasangan sama-sama masih malu-malu kucing soal ini. Boleh dibilang, butuh percobaan ratusan kali sampai akhirnya bisa tahu posisi mana yang pas, nyaman, dan memfasilitasi kebutuhan pasangan.

Caranya juga bukan hanya trial and error, tetapi balik lagi ke poin 1: mengkomunikasikan semuanya dengan pasangan. Bicara jujur dengan pasangan, apa yang kita suka dan tidak suka, tanyakan padanya, apa yang dia suka dan tidak suka. Ini akan membantu kita dan pasangan saling memahami kebutuhan dasar masing-masing dengan sangat baik.

Lebih lanjut, persiapan pranikah yang perlu didiskusikan terkait poin ke-8 ini adalah soal kesehatan reproduksi. Sedini mungkin, mulai periksakan diri terkait riwayat kesehatan pribadi (misalnya, apakah kita atau pasangan punya penyakit bawaan), kebersihan alat reproduksi, vaksinasi (perempuan harus vaksin apa saja sebelum menikah?), hingga perencanaan alat kontrasepsi. Membiasakan diri berdiskusi soal kehidupan seks sejak awal pernikahan penting dalam menjaga kehangatan cinta di rumah, yang nantinya juga berdampak pada kehidupan keluarga dan tumbuh kembang anak.


Nah, itu 8 hal yang harus kita diskusikan bersama pasangan terkait persiapan pernikahan. Jelas bahwa pernikahan bukan hanya soal mempersiapkan pesta meriah tujuh hari tujuh malam. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan tugas kita membangun, membina, memupuk, dan memelihara cinta dalam pernikahan itu seumur hidup.
Photo by rawpixel on Unsplash



Dalam pernikahan yang sehat, ada diri kita dan pasangan yang merasa utuh, ada kita dan pasangan yang saling mencintai, dan anak-anak yang tumbuh bahagia. Jadi, tidak pernah ada kata terlalu dini untuk mempersiapkan pernikahan. Kita bisa mengawalinya dari diskusi-diskusi kecil tentang 8 hal di atas bersama pasangan. Semoga berhasil! 

*)Materi di atas disampaikan dalam sesi Kuliah Jumat Kontenesia, 8 Februari 2019.


Referensi




Merangkum Cerita di Dua Bulan Pertama 2019



Hai!

Tiga bulan lewat sejak post terakhir. Menjelang liburan akhir tahun lalu, saya memang (Alhamdulillah) lagi banyak pekerjaan. Jadi ya begitu hasilnya. Blog Challenge terbengkalai, kerjaan padat hingga H-1 sebelum berangkat liburan, sampai kembali ke Bontang pun berkutat dengan deadline. 

Pisang goreng srikaya Suka Hati memang nggak pernah salah

Masih ditambah dengan kepergian Eyang Uti (atau Ibu, saya memanggilnya demikian) tepat di hari jadi ke-7 Rasya, yang membuat saya terbang ke Jogja langsung menuju Sragen untuk mengantar Ibu hingga tempat peristirahatan terakhir. Malam itu pula saya dan anak-anak ikut rombongan keluarga besar ke Jakarta dan menghabiskan seminggu penuh di sana. Ya, dalam sebulan saya dua kali bolak-balik Balikpapan-Jakarta dan Balikpapan-Jogja plus Jakarta-Samarinda. Kebayang dong betapa lelahnya? Alhamdulillah, anak-anak sehat semua dan mereka justru tampak happy sekali saat harus terbang kedua kalinya. 

Januari dan Februari adalah bulan spesial buat kami. Rasya lahir di pertengahan Januari dan Runa lahir di pertengahan Februari. Namun, kepergian Ibu membuat kami hanya sempat berbagi kebahagiaan dengan teman main Rasya, tanpa sempat merayakan secara khusus. Baru pas Runa ulang tahun, kami makan siang enak di KFC sampai kenyang. Plus, tahun ini kami melengkapinya dengan sebuah kejutan besar yang tak disangka-sangka. 
Early birthday gift 

Sibuk merakit Lego NinjaGo hadiah ulang tahun

Meski di tengah sepi deadline, ditambah kenyataan bahwa tagihan (cicilan) tiket pesawat harus dibayar bulan depan, masih terselip rasa syukur dalam diri untuk menjalani bulan-bulan berikutnya dengan perasaan optimis. Ada satu project menanti kepastian. Saya juga tengah berusaha mengembangkan diri dan membuka lahan seluas-luasnya untuk kesempatan menulis. Apalagi, menyadari bahwa sampai dua tahun ke depan hanya pekerjaan ini yang mampu saya lakukan sepenuh hati. 

Resolusi tahun baru bukanlah sesuatu yang biasa saya lakukan lagi. Tidak sejak beberapa tahun lalu. Kadang yang terpikir hanya bagaimana menjadi orang lebih baik dan bisa mewujudkan impian kecil satu demi satu. 

Tahun ini fokus saya masih sama, coba menekuni dunia freelance content writer lebih serius dan maksimal. Belajar manajemen waktu lebih ketat tapi juga fleksibel. Belajar terus menjadi ibu yang lebih sabar untuk anak-anak. Belajar terus memahami suami dari segala sisi.  Dan tentu saja, belajar meluangkan waktu lebih banyak untuk diri sendiri, di tengah keterbatasan waktu.

Kapan-kapan, saya share soal me-time versi working at home mom ya! Oh! Seri itu juga lupa dilanjutkan ahahahha. 

Semoga apapun yang saya bagi di sini tetap jadi manfaat buat siapa saja. Seperti hari ini saya dibuat terkejut dengan naiknya view page post tentang review buku Antologi Rasa bertahun-tahun lalu. Agaknya, demam film Antologi Rasa juga merambah ke sini hehehe. Ingin sekali menonton, tapi harus menempuh 2,5 jam dulu ke Samarinda, hiks :(

Oke, selamat menikmati blog saya lagi. Doakan tetap semangat mengisi blog ya! Karena kalau semangat menulis, setiap hari saya juga menulis artikel -- untuk klien tapi! 

Have a nice weekend!


Salam, 
Dita
Powered by Blogger.