Menyiapkan pernikahan bukan sekadar persiapan untuk pesta sehari semalam yang tak terlupakan. Memburu-buru pernikahan juga bukan semata demi yang ena’-ena’ saja.
Persiapan pernikahan juga bukan melulu soal materi. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan
dan diskusikan bersama pasangan, sebab pernikahan justru awal dari misi
kehidupan kita selanjutnya: menjaga komitmen seumur hidup.
Saya yakin, teman-teman sudah cukup paham
bahwa pernikahan itu bukanlah dongeng cinta-cintaan yang berakhir happy ending. Kebahagiaan dalam pernikahan nggak bisa terjadi secara ajaib, tetapi
harus diusahakan bersama oleh kita dan pasangan.
Jadi, ya, modal cinta mati doang dan rela
berkorban apapun nggak menjamin pernikahan berjalan mulus. Butuh lebih dari
itu.
Bahkan, usaha itu harus mulai dilakukan
jauh-jauh hari sebelum tanggal hari H pernikahan ditentukan, atau sebelum kita
berpikir untuk menikah. Apa saja sih yang
harus kita diskusikan dengan pasangan?
Sebelum masuk ke bagian itu, lebih dulu
camkan ini dalam diri kita.
Deal with yourself before you deal with
others.
Masih ingat kan? Kutipan dari psikolog ternama, Ratih Ibrahim, ini saya pegang teguh
selalu dalam berbagai hal, mulai dari urusan diri sendiri, relasi dengan orang
lain, pernikahan, hingga menjadi orang tua.
Ya, lebih dulu kita sudah membereskan isu-isu pribadi sebelum
menantang diri untuk membangun pernikahan. Beberapa contohnya adalah:
- Tahu persis kelebihan dan kekurangan diri sendiri
- Tahu bagaimana meregulasi emosi diri
- Mandiri, bisa mengambil keputusan sendiri, dan memecahkan masalah pribadi sendiri
- Percaya diri
- Sudah puas menyenangkan diri sendiri
Kalau kita sudah punya self-love, mudah bagi kita untuk berlanjut
ke hubungan yang lebih serius. Beberapa isu bisa jadi muncul saat bertemu
pasangan, misalnya bagaimana membangun rasa percaya atau berkomunikasi efektif
dengan pasangan. Nggak apa-apa, justru begitu berbenturan dan masalah itu
muncul, kita jadi terdorong untuk menyelesaikannya.
Hal terpenting adalah saat kita bertemu
pasangan, yang bakal jadi pasangan seumur hidup, kita sudah punya kualitas diri yang oke: self-love, harga diri, percaya diri, dan kemandirian. Jadi,
kita bisa jaga diri sendiri dan berani bilang ‘tidak’ andai pasangan melakukan
sesuatu yang melanggar batas atau kesepakatan, misalnya.
Nah, kalau diri kita pun sudah matang,
membina hubungan serius ke jenjang pernikahan seharusnya lebih mudah. Namun,
tetap saja, pernikahan yang bahagia dan langgeng itu sesuatu yang harus
diusahakan bersama. Oleh karena itu, penting banget untuk membicarakan beberapa
hal berikut dengan pasangan sebelum kita memantapkan diri untuk menikahinya.
Apa saja?
Bagaimana cara berkomunikasi
Dalam setiap hubungan, komunikasi adalah faktor terpenting yang
mampu menjaga hubungan tersebut bertahan lama, termasuk dengan pasangan.
Mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan secara jujur itu nggak mudah lho. Apalagi, kebanyakan dari kita
seolah terbiasa untuk memendam hal-hal yang nggak enak dibicarakan secara
terbuka, daripada ngomongin ini blak-blakan.
Namun, jika kita berniat serius dengan
pasangan, maka komunikasikan semua isi hati dan pikiran secara jujur padanya.
Jangan hanya mengatakan hal yang ingin dia dengar, atau hal-hal manis, semata
demi menjaga kelanggengan hubungan.
Biasakan untuk bercerita apa adanya.
Luangkan waktu di akhir hari untuk sekadar berbagi cerita apa yang terjadi hari
itu. Di sela-sela kegiatan harian, sempetin
untuk bertanya hal-hal kecil, seperti sudah makan belum, makan pakai apa,
sedang di mana, pulang jam berapa, dll. Dengan komunikasi yang baik, ini jadi
dasar pula bagi kita dan pasangan untuk menghadapi konflik yang bisa terjadi
sewaktu-waktu.
Tentang rasa percaya
Tahu kan kenapa anak itu tetap kembali ke ayah
ibunya meski baru kena badai omelan? Ya, karena anak percaya pada orang tuanya.
Begitu juga dengan pasangan, rasa percaya adalah hal penting yang harus kita
bangun bersama. Tanpa percaya, dasar untuk membangun kelekatan emosi yang lebih
intens akan sulit. Capek lho hidup dalam hubungan yang dilandasi kecurigaan.
Rasa percaya itu tumbuh saat kita bisa mengekspresikan perasaan apapun
pada seseorang, dari
rasa gembira, sedih, kecewa, cemas, hingga marah. Kita tahu kita bisa percaya
pada dia saat dia tetap peduli dan mau mendengarkan, tanpa judging berlebihan.
Ya, memang gampang sih “menutupi” semua
hal demi terlihat baik-baik saja. Namun, apakah benar itu yang kita mau untuk
sebuah hubungan pernikahan nanti? Justru ketika kita atau pasangan mulai
menutup-nutupi suatu hal, tandanya rasa percaya itu mulai pudar.
Soal uang
Buka-bukaan soal uang itu perlu lho. Ya, kalau masih pacaran, mungkin
kita happy aja pas dibayarin makanan, dihadiahin ini itu sama pacar, tanpa bertanya itu uangnya dia dapat
dari mana. Lah, iya kalau uangnya
hasil kerja halal, kalau hasil *amit-amit* merampok, misalnya?
Membicarakan uang memang sensitif, tetapi justru isu finansial yang
sering jadi biang kerok perceraian. Peneliti Jeffrey
Dew menemukan bahwa membicarakan soal keuangan penting karena perdebatan
tentang ini nggak selalu tentang uang semata. Namun, juga merefleksikan
bagaimana komitmen, rasa saling menghargai, kekuatan, dan juga keadilan dalam
hubungan dengan pasangan.
Nggak perlu juga pegang ATM pasangan.
Setidaknya, kita dan dia sama-sama terbuka soal kondisi keuangan masing-masing.
Misalnya, berapa kisaran jumlah tabungan, investasi apa saja, punya
utang/piutang ke mana, berapa pengeluaran per bulan, dll. Dengan berbagi dan berdiskusi sedini mungkin soal finansial, lebih
mudah juga buat kita menetapkan tujuan finansial saat menikah nanti.
Termasuk jika terjadi perubahan situasi mendadak, seperti usaha mandek, salah
satu resign atau lanjut
kuliah, atau hanya salah satu
yang bekerja.
Soal perubahan diri
Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang
abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Sebelum dan sesudah menikah adalah dua
dunia berbeda. Mustahil seseorang tidak akan berubah setelah melalui berbagai
pengalaman hidup penting baginya. Kita
dan pasangan sama-sama perlu mempersiapkan diri pada perubahan ini.
Termasuk di dalamnya, perubahan sifat, karakter, perilaku, hingga berat badan!
Kepribadian seseorang bukanlah sesuatu
yang menetap. Namun, perubahan itu harus datang dari diri sendiri, bukan kita
yang mengubahnya. Jadi, lupakan soal menjadi pahlawan kesiangan karena berpikir
kita bisa mengubah pasangan setelah menikah nanti. Lebih baik, coba diskusikan
kalimat ini: apa yang akan kamu lakukan
kalau suatu hari nanti aku berubah?
Tentang anak
Begini, menikah bukan hanya soal bikin anak karena bikinnya gampang, tapi butuh komitmen seumur hidup untuk mendidik
anak. Jadi, sebelum kita serius menikah, coba ngomongin ini dengan pasangan. Bukan dimulai dengan berapa jumlah
anak, tapi mau atau tidak punya anak!
Hargai keinginan pasangan soal pilihan
anak. Menikah bukan hanya tentang bagaimana meneruskan garis keturunan (meski
pada akhirnya urusan dapat anak, jumlah anak, itu semua kuasa Allah SWT), tetapi
membangun kehidupan lewat komitmen seumur hidup dengan orang yang sama.
Ada orang bilang, nanti jadi orang tua
akan siap sendiri kok. Sayangnya,
tidak pernah ada sekolah jadi orang tua. Dan jadi orang tua butuh kesiapan
fisik dan mental karena kita punya tanggung jawab membesarkan seorang manusia.
Sudah banyak cerita anak yang ‘disia-siakan’ orang tua karena beragam hal.
Begitu juga soal orang tua yang ‘memuja’ anak bak raja atau ratu. Maka,
pembicaraan tentang anak WAJIB didiskusikan sebelum menikah!
Soal Karir
Keputusan apakah kita atau pasangan tetap
bekerja setelah menikah itu harus didiskusikan dan disepakati bersama. Kalaupun
misalnya pasangan meminta kita untuk di rumah saja, pastikan kita juga sudah berdamai dan bisa menerima hal itu. Jangan hanya bilang iya-iya saja demi bisa
menikah, tetapi ketikan menjalaninya dengan berat hati, mengeluh, dan nggak
ikhlas.
Pun kalau pasangan mengizinkan kita
bekerja, buat kesepakatan tentang pengelolaan rumah tangga. Ya, memang abstrak sih jika ngobrol ini sebelum nikah. Namun, garis besarnya tetap bisa dibahas
kok. Contoh, “Eh, nanti pas sudah
nikah kamu saja yang masak ya? Aku masak air aja gosong lho.” Bisa juga, “Aku dan kamu kan
sama-sama kerja nih. Gimana kalau
kita bikin satu hari pas weekend untuk beres-beres rumah? Nyuci nyetrika mah ke laundry aja ya!”
Yaaaaa,
mengharapkan obrolan dan kesepakatan itu terealisasi dengan baik 100% nyaris
nggak mungkin sih. Namun, setidaknya kita dan pasangan sudah sama-sama tahu
soal harapan terkait karir dan urusan rumah tangga. Jadi, sama-sama bisa menerima
kenyataan pula dan ikhlas menjalaninya nanti.
Satu lagi, jangan kita bersikap
mengecilkan peranan pasangan, sekalipun ia hanya di rumah saja. Bekerja
dari dan di rumah itu berat lho. Jadi, tetap apresiasi pasangan, ucapkan
terima kasih, belikan makanan favoritnya, atau ajak makan di luar. Begitu pula
jika pasangan bekerja di luar rumah. Selalu
dukung penuh apa yang ingin dilakukan pasangan, selama itu bagus untuk aktualisasi
diri pasangan.
Tinggal di mana setelah menikah?
Ini hal teknis, tetapi PENTING BANGET
diomongin. Karena kalau mau tinggal di rumah orang tua atau mertua, artinya
sama-sama menyiapkan diri dan pasangan dengan pondok mertua indah. Plus, harus
siap juga dengan banyak intervensi terkait kehidupan rumah tangga kita.
Tempat terbaik adalah punya rumah terpisah alias rumah
sendiri. Bukan hanya supaya bisa mandiri dan mengandalkan satu sama lain,
tetapi juga meminimalisir benturan dengan orang tua masing-masing. Lagipula,
nggak enak kan mau ena’-ena’ tapi ruang gerak terbatas? :P
Soal kehidupan seks
Oh, ini jangan diobrolin dulu ding pas
sebelum menikah. Namun, HARUS jadi salah satu bahan diskusi setelah resmi
menikah. Begini, setelah menikah hubungan seks itu belum tentu berlangsung
lancar. Apalagi, kita dan pasangan sama-sama masih malu-malu kucing soal ini.
Boleh dibilang, butuh percobaan ratusan kali sampai akhirnya bisa tahu posisi
mana yang pas, nyaman, dan memfasilitasi kebutuhan pasangan.
Caranya juga bukan hanya trial and error, tetapi balik lagi ke
poin 1: mengkomunikasikan semuanya dengan pasangan. Bicara jujur dengan
pasangan, apa yang kita suka dan tidak suka, tanyakan padanya, apa yang dia
suka dan tidak suka. Ini akan membantu kita dan pasangan saling memahami
kebutuhan dasar masing-masing dengan sangat baik.
Lebih lanjut, persiapan pranikah yang
perlu didiskusikan terkait poin ke-8 ini adalah soal kesehatan reproduksi. Sedini mungkin, mulai periksakan diri terkait
riwayat kesehatan pribadi (misalnya, apakah kita atau pasangan punya penyakit
bawaan), kebersihan alat reproduksi, vaksinasi (perempuan harus vaksin apa saja
sebelum menikah?), hingga perencanaan alat kontrasepsi. Membiasakan diri berdiskusi soal kehidupan seks sejak awal pernikahan
penting dalam menjaga kehangatan cinta di rumah, yang nantinya juga berdampak
pada kehidupan keluarga dan tumbuh kembang anak.
Nah, itu 8 hal yang harus kita diskusikan
bersama pasangan terkait persiapan pernikahan. Jelas bahwa pernikahan bukan
hanya soal mempersiapkan pesta meriah tujuh hari tujuh malam. Pernikahan adalah
sesuatu yang sakral dan tugas kita membangun, membina, memupuk, dan memelihara
cinta dalam pernikahan itu seumur hidup.
Dalam pernikahan yang sehat, ada diri kita dan pasangan yang merasa
utuh, ada kita dan pasangan yang saling mencintai, dan anak-anak yang tumbuh
bahagia. Jadi,
tidak pernah ada kata terlalu dini untuk mempersiapkan pernikahan. Kita bisa
mengawalinya dari diskusi-diskusi kecil tentang 8 hal di atas bersama pasangan.
Semoga berhasil!
*)Materi di atas disampaikan dalam sesi Kuliah Jumat Kontenesia, 8 Februari 2019.
Referensi