Tuesday, October 29, 2019

Rumus Membangun Keluarga Bahagia, Apakah Itu?

Pexels.com/Kat Jayne

Siapa bilang baby blues datang setelah melahirkan anak pertama saja?

Saya mengalaminya tiga kali. Benar, tiga kali baby blues usai melahirkan tiga anak.

Tiga kali baby blues ini saya alami dengan intensitas berbeda-beda. Awalnya, saya berpikir, “Ah, nggak mungkin sampai baby blues.” Tapi, kenyataan berbicara lain.

Rasya

Pasca melahirkan Rasya, baby blues itu datang sekitar dua hingga tiga minggu setelah melahirkan. Saya ingat benar, suatu pagi di kamar, hanya berdua Rasya di rumah, saya menangis tersedu-sedu sambil menyusuinya.

Rumah sepi, suami pergi kerja, tidak ada yang bantu cuci pakaian, badan belum pulih benar setelah operasi. Saya merasa sendirian, sedih, dan kesepian saat itu.  

Runa

Lima tahun setelah Rasya lahir, baby blues hadir dalam wujud keengganan membangun kelekatan dengan Runa, anak kedua saya. Waktu itu saya tidak begitu antusias dengan kelahiran Runa.

Saya berpikir tugas saya cukup menyusui Runa, selebihnya ada Mama dan tante yang mengurus. Tidak ada perasaan membuncah bahagia luar biasa setelah ia lahir. Hanya terasa datar, biasa saja, dan bingung harus berbuat apa saat bersama Runa.

Rezi

Dua tahun usai kelahiran Runa, baby blues kembali mampir setelah saya melahirkan Rezi. Kali ini intensitasnya lebih besar karena saya merasa tekanan dan tuntutan peran ibu begitu besar. Ada tiga anak yang harus saya urus, belum lagi urusan rumah. Jangan tanya bagaimana ribetnya ketika mereka bertiga meminta perhatian saya.

Kurang tidur, badan remuk, mood kacau balau, kepala sakit, hingga ke-judes-an saya meningkat drastis. Percuma bikin to-do-list dalam otak setiap hari karena semua pasti berantakan. Rasanya, saya hanya hidup dari menit ke menit saja, tanpa sempat berpikir mau apa besok.

Baby Blues Itu Nyata!

Melahirkan memang momen terbaik seorang ibu, tetapi juga bisa menjadi momen terburuk. Data National Institute of Mental Health, sekitar 80% ibu baru mengalami baby blues. Gejala ini dirasakan ibu pada satu minggu hingga satu bulan usai melahirkan.

Perasaan ibu melaju bak roller coaster. Kadang senang, tetapi di menit berikutnya sedih dan cemas soal banyak hal seputar peran sebagai ibu. Campur aduk memang dan itu wajar. Kita boleh “menyalahkan” menurunnya kadar hormon dalam tubuh ibu setelah melahirkan. Tambah lagi ini adalah minggu-minggu awal kelahiran bayi. Ibu dan bayi sama-sama masih menyesuaikan diri dalam membangun rutinitas baru.

Pexels.com/Nickolay Osmachko

Ibu (dan juga ayah) harus menghadapi semua perubahan itu berbarengan. Nggak ada jeda sama sekali untuk mengurai atau mempelajari satu per satu. Suka nggak suka, ibu langsung tenggelam (dan terjebak) dalam situasi ini, tanpa sempat menyiapkan mental.

Seolah tekanan dari dalam diri masih belum cukup, ibu sering berhadapan dengan keluarga, teman, atau kerabat yang datang menjenguk. Oke, dijenguk setelah melahirkan memang senang. Namun, berapa banyak dari kunjungan itu yang bertanya bagaimana kabar ibu?

Ini masih ditambah lagi dengan pertanyaan penting nggak penting atau saran yang sebetulnya kita pun sudah tahu, tapi susah dilakukan karena kendala tertentu. Misalnya, “ASI kamu sedikit ya? Bayimu nggak kenyang tuh,” atau “Kenapa melahirkan secara caesar? Padahal, melahirkan normal enak lho!”

Si kecil adalah “bintang” utama. Ibu cukup ambil peran pembantu. Semua mata tertuju pada bayi mungil ini, sementara ibu dilupakan. Apakah pendapat ini berlebihan? Nggak kok. Faktanya, hal-hal kecil seperti itu justru berperan dalam membuat seorang ibu merasakan baby blues.

Ya, baby blues itu nyata.  Malah, jika terus menumpuk, bisa mengarah pada post partum depression. Boleh jadi, hal ini melatarbelakangi berbagai kasus tindak pidana yang dilakukan beberapa ibu kepada anak kandungnya sendiri. Baby blues bukan hanya dalam pikiran semata ketika tidak lekas tertangani.

Begini Cara Menangani Baby Blues

Suatu pagi sambil memangku Rezi yang baru terlelap, saya membuka Instagram Stories sebuah komunitas ibu. Membaca setiap kalimat yang muncul membuat mata berkaca-kaca, basah, dan mengalir tanpa henti. Bahkan, hingga saat saya me-repost stories itu.

Di titik itu, saya yang masih berusaha sok kuat dan terus mengingkari soal baby blues ketiga, akhirnya menerima dan mengakui perasaan ini. Saya mengizinkan diri untuk menangis pagi itu sambil memeluk Rezi.

Beberapa pesan dari para sahabat muncul memberi semangat. Saya pun jujur soal perasaan kewalahan yang dirasakan. Rasanya? Lega karena bisa membicarakan itu semua secara gamblang, seperti ada beban yang terangkat sedikit dari bahu.

Pexels.com/Bruce Mars

Dari situ, saya tersadar bahwa mengakui dan menerima bahwa kita mengalami baby blues adalah langkah awal untuk menangani roller coaster emosi ini. Walhasil, kita jadi lebih terbuka pada orang lain. Kita pun lebih siap menerima pertolongan untuk pulih fisik dan psikologis.

Baby blues termasuk salah satu isu kesehatan mental yang tengah jadi sorotan. Apalagi, peran ibu begitu sentral dalam tumbuh kembang anak sebagai generasi masa depan bangsa. Kesehatan mental ibu harus menjadi prioritas.

Maka, meski baby blues akan menghilang perlahan setelah satu bulan, kita bisa menanganinya lebih awal dengan cara berikut.

Turunkan standar dan bersikap realistis. Nggak semua hal bisa kita kerjakan hari itu. Pasti ada saja hal yang tertunda, wajar kok. Berharap semua berjalan sesuai rencana hanya akan membebani pikiran kita sendiri dan kecewa jika tidak berhasil dilakukan. Realistis saja dan lakukan apa yang terbaik pada situasi itu.

Jangan melakukan semua sendiri. Sekuat-kuatnya ibu, ibu tetap manusia, bukan wonder woman. Meski jargon “stay strong” bisa menyemangati, tetapi boleh kok mengibarkan bendera putih sesekali. Simpel tapi kadang susah kita lakukan hanya karena kita merasa sekuat itu. Padahal, jauh di lubuk hati terdalam, kita berteriak minta tolong ingin dibantu.

Beri reward untuk diri sendiri. Ini zamannya self-care, maka kita perlu memberi reward untuk diri sendiri usai melalui badai hebat hari itu. Nggak usah mahal-mahal, seperti secangkir kopi panas, semangkok mie instan hangat, nonton drama Korea, atau mandi lama-lama tanpa interupsi! Secara berkala, buat diri kita sebagai prioritas, bukan melulu soal bayi atau rumah. Kita layak lho untuk itu.

Pakai pakaian favorit. Ibu di rumah identik dengan daster belel dan robek sana-sini. Nyaman sih, tapi nggak ada salahnya mengenakan pakaian favorit meski hanya di rumah. Sedikit berdandan bisa membuat kita merasa happy ketika melihat bayangan diri kita di cermin. When it makes you feel good, then just do it.

Keluar rumah untuk berganti suasana. Hanya pergi ke warung dekat rumah atau posyandu saja bisa membuat mood berubah. Rasa sumpek sedikit pudar dan kita merasa “bebas” sejenak dari kungkungan rumah.

Googling seperlunya. Kecenderungan ibu-ibu generasi milenial adalah googling semua hal. Meski ini bagus, terlalu sering mencari suatu informasi di internet bisa membuat kita kewalahan menerima dan mencernanya. Too much googling will kill you. Alih-alih merasa tenang, kita malah diliputi kekhawatiran akan hal-hal yang belum pasti terjadi.

Buka media sosial seperlunya. Kalau kita tipe orang yang gampang terbawa perasaan, mending nggak usah buka media sosial atau stalking orang lain. Salah-salah kita malah muncul rasa iri, tidak suka, kesal, hingga cemas. Ini bisa membuat baby blues semakin menjadi, terutama ketika kita diam-diam membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Cari teman bicara ketika butuh pertolongan. Tidak ada yang salah dengan mengalami baby blues. Kita tidak sendirian kok. Ada banyak ibu di luar sana yang bernasib sama. Namun, jangan sungkan mencari teman bicara saat butuh pertolongan, mulai dari suami, keluarga, teman, hingga profesional seperti psikolog.


Nah, kalau kamu seorang ibu yang tengah bergulat dengan baby blues dan butuh pertolongan pertama ke psikolog, mampir saja ke ibunda.id. Platform ini memberikan tempat curhat dan konsultasi online berbasis psikologi untuk berbagai kalangan usia. Kamu bisa bercerita apa saja: masalah diri, percintaan, pertemanan, dan keluarga. Semudah itu!

Maka, isu kesehatan mental memang perlu mendapat perhatian ekstra dari segala kalangan usia, termasuk soal baby blues. Jelas ya kalau isu ini bukan hal remeh, jangan sekali-kali menyepelekan atau menganggap baby blues nggak penting!

Pexels.com/J Carter

Lebih lanjut, sejatinya rumus membangun keluarga bahagia berawal dari satu langkah, yaitu membuat dirimu sendiri bahagia lebih dulu. Anak tidak perlu sosok ibu sempurna, tetapi ia lebih membutuhkan ibu yang bahagia lahir batin. Happy mom, happy kids, happy dad, happy family.

Jadi, apakah kamu sudah jadi ibu yang bahagia? 



“Karya/tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Journalist Challenge by
Ibunda.id, platform karya anak bangsa yang menyediakan layanan kesehatan
mental berbasis teknologi.”

Saturday, August 17, 2019

8 Tips Penting Jadi Orang Tua Baru

Halo!
Setelah sekian lama nggak update blog, akhirnya ada sesuatu yang bisa di-posting. 
Oke, sebenarnya banyak cerita sih, tetapi kali ini saya mau menulis tentang sesi Kuliah Jumat di Kontenesia beberapa waktu lalu. Meski agak terlambat untuk dibagi, tetapi sayang kalau tidak dituliskan kembali. Lumayan untuk menambah pengetahuan, sekaligus reminder untuk para orang tua.

Memang, temanya apa?

Ini lho temanya: Tips Menjadi Orang Tua Baru. 
Yuk, simak sama-sama!

--
Photo by J carter from Pexels


Begini, "pekerjaan" sebagai orang tua itu udah macam McDonald: 24 jam 7 hari seminggu. Mau jadi ayah, jadi ibu, sama-sama mengemban tanggung jawab besar. 


Maka, aturan dasar jadi orang tua sudah jelas: ayah dan ibu HARUS KERJASAMA demi tumbuh kembang anak. 


Ini harus ditegaskan sejak awal lho. Buibu, jangan ragu buat bawelin suaminya soal ini. Pakbapak, jangan segan juga kepo soal parenting dan hal-hal terkait merawat anak. 


Kerjasama ayah dan ibu ini juga harus didukung komunikasi yang baik dan intensif. Jadi, jangan sampai deh kita baperan soal pengasuhan anak karena nggak bisa mengkomunikasikan ini dengan pasangan. 


Kalau ayah ibunya kuat dan lancar komunikasinya, tantangan macam-macam bisa diatasi kok (termasuk soal intervensi pihak luar alias nyinyiran orang lain :D).


Sudah tahu ya kunci utamanya. Lalu, apa aja tips penting buat orang tua baru? 


Baca, baca, baca

Kalau banyak orang mengeluhkan soal netizen yang malas baca (dengan menanyakan hal yang sudah jelas ditulis di atasnya), ini ada benernya sih.

Sedihnya, banyak juga orang tua baru yang bersikap begitu. Err...yg anaknya udah banyak juga ada ding. 
Apalagi, kebanyakan cuma mau baca apa yang diyakini benar dengan sumber bacaan yang ….. Beneran itu sumber yang bisa dipercaya? Siapa yang bilang? Ahli mana? Atau cuma copas dari WAG aja? :D

Nah, buat orang tua baru, lebih baik pastikan dulu sumber bacaannya. Lebih baik, selain baca-baca di internet, pilih buku sebagai referensi bacaan yang tepercaya. 


Tanya ke sumber tepercaya

Jadikan dokter anak dan psikolog sebagai sumber tepat untuk bertanya. Jangan ragu buat nanya ini itu soal tumbuh kembang anak pada ahlinya. Termasuk kalau kita dapat info dari internet, dan nggak yakin soal hal itu.

Jangan sampai kita jadi orang tua yang cuma modal browsing google aja merasa sudah tahu segalanya. Nggak sreg sama penjelasan satu ahli? Atau masih ada yang menggelitik? Cari second opinion boleh banget.


Update informasi tentang parenting dan tumbuh kembang anak

Informasi seputar kesehatan dan tumbuh kembang anak itu terus berkembang. Jangan sampai kita lebih percaya mitos atau apa kata orang aja, maupun sekadar ikut2an doang. 

Apalagi urusannya sama anak dan namanya orang tua itu pembelajar seumur hidup. Jadi orang tua nggak ada manual book, anak juga nggak lahir dengan manual book.

Maka, update ilmu setiap saat sesuai fase tumbuh kembang anak itu WAJIB hukumnya.


Too much googling will kill you

Ya, makin banyak tahu, makin kita tenggelam dalam informasi. Makin kita pusing juga jadinya. Ini biasanya sering dilakukan orang tua baru kalau anaknya lagi sakit atau ada masalah tertentu. Soalnya, info satu dengan lainnya sering berkaitan, kadang malah melebar ke mana2. Padahal, bisa aja sebenernya masalah yang dihadapi hanya masalah dasar, bukan sesuatu yang gawat banget. 

Cuma karena kita terlalu banyak info (yang belum ketahuan juga bener nggaknya), kita jadi cemas dan takut sendiri, khawatir berlebihan. Kalo begini, ujungnya baper sendiri deh.

Kita tetap jadi pengambil keputusan akhir

Apa pun kata orang soal gaya parenting kita, kita adalah pengambil keputusan akhir terkait pengasuhan anak. Jadi, ayah ibu juga harus kompak dan sepakat untuk mengasuh anak demikian.

Kalau ada intervensi atau nyinyiran dari orang lain, sama2 bisa menangkis dengan cantik, termasuk ortu sendiri atau mertua misalnya. Mendengarkan pendapat orang lain boleh, cari semua sumber info itu harus, tapi kitalah yang mengambil keputusan mau diterapkan bagaimana dan seperti apa.

Makanya, kita dan pasangan harus saling dukung untuk itu.

Stop membandingkan anak dengan anak lain

Jauh lebih baik kita membandingkan anak dengan dirinya sendiri, bukan anak lain. Sekadar mencari tahu seperti apa sih perkembangan anak seusianya boleh, tapi nggak sambil ngegerundel dalam hati ya. Malah, bisa jadi bahan untuk evaluasi tumbuh kembang anak, jangan2 ada yang kurang stimulasinya, atau mana lagi keterampilan yang perlu diasah.

Luangkan waktu untuk tetap intim dengan pasangan dan diri sendiri

Last but not least, jadi orang tua bukan lantas kita menenggelamkan diri sepenuhnya pada urusan anak. Jujur, aku pribadi bukan tipe orang tua yang menganggap "anak adalah raja" sampai harus mengorbankan waktu untuk pasangan dan diri sendiri. 

Karena aturan utama membesarkan anak yang happy itu sederhana: HAPPY MOM/DAD, HAPPY KIDS, HAPPY FAMILY. 

Jadi, sesibuk2nya sama anak, sempetin diri untuk ngurusin diri sendiri. sesimpel makan makanan enak, mandi agak lama, atau belanja. 

Ke pasangan juga gitu. Jangan mentang-mentang udah capek banget, malem ditinggal tidur gitu aja. Kalau pun gak mau mesra-mesraan, sekadar peluk-peluk aja udah enak lho dan bisa nambah produksi hormon oksitosin yang bikin ASI mengalir deras!

Tetap lakukan ritual sama dengan pasangan seperti pas belum punya anak. Misalnya, kecup kening sebelum berangkat kerja, peluk-peluk manja pas nonton tv, pegangan tangan waktu jalan-jalan, dst. 

Jadi orang tua kan nggak mengubah status kita sebagai istri/suami orang lho. Tetap perhatikan pasangan ya!

PENTING JUGA!

Turunkan standar bikin kita lebih waras

Iyessss! Salah satu hal yang bikin orang tua baru sering kewalahan adalah karena punya standar atau idealisme tinggi terhadap pengasuhan yang sedang atau ingin dijalani. Apalagi, kalau berpatokan ke influencer, selebgram, artis terkenal, saudara, orang tua sendiri, atau tetangga!

Percaya deh, terlalu idealis itu bisa bikin kita stres dan malah lupa untuk fokus pada anak. Nggak ada salahnya kok kalau menurunkan standar, asal kita happy menjalankan peran jadi orang tua.

Misalnya nih, kita memilih MPASI instan atau membiarkan anak makan apa yang kita makan juga saat traveling, sementara ada sepupu yang niat banget bawa slow cooker segala meski cuma weekend getaway di kota sebelah. Nggak usah berkecil hati, yang penting anak mau makan lahap kan?

Contoh lain, selebgram favorit sehari-hari sering buat berbagai proyek DIY untuk merangsang kemampuan anak. Kalau kita cuma bisa mengandalkan buku atau beli busy book yang sudah jadi pun nggak masalah.

Belum lagi urusan rumah tangga yang sering nggak kepegang karena kita sibuk dengan anak.

Rumah berantakan dan capek beresin? Tinggal tidur aja, besok pagi baru diberesin (atau panggil Go-Clean!).
Capek masak dan malas cuci piring? Pesan antar aja.
Sebal lihat cucian menumpuk dan nggak kuat rasanya nyeterika berjam-jam? Kasih ke laundry dong!

Intinya, menurunkan standar dalam pengasuhan atau urusan rumah tangga itu BOLEH BANGET DILAKUKAN! Jangan sampai kita terlalu lelah karena bingung atau capek mengejar idealisme itu, lantas lupa fokus pada anak dan diri kita sendiri. Toh pada akhirnya, apa yang bikin orang tua happy pasti bakal bikin anak juga happy.

--
Itu dia tips jadi orang tua baru yang bisa jadi contekan dan reminder buat para calon orang tua atau yang sudah bertahun-tahun jadi orang tua.

Semoga bermanfaat ya, teman-teman!

Kalau punya tips lain, boleh lho dibagikan di kolom komentar.

Happy parenting!

Sunday, February 24, 2019

Persiapan Pernikahan, Yuk Diskusikan 8 Hal Ini dengan Pasangan!




Menyiapkan pernikahan bukan sekadar persiapan untuk pesta sehari semalam yang tak terlupakan. Memburu-buru pernikahan juga bukan semata demi yang ena’-ena’ saja.

Persiapan pernikahan juga bukan melulu soal materi. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan dan diskusikan bersama pasangan, sebab pernikahan justru awal dari misi kehidupan kita selanjutnya: menjaga komitmen seumur hidup.

Saya yakin, teman-teman sudah cukup paham bahwa pernikahan itu bukanlah dongeng cinta-cintaan yang berakhir happy ending. Kebahagiaan dalam pernikahan nggak bisa terjadi secara ajaib, tetapi harus diusahakan bersama oleh kita dan pasangan.

Jadi, ya, modal cinta mati doang dan rela berkorban apapun nggak menjamin pernikahan berjalan mulus. Butuh lebih dari itu.

Bahkan, usaha itu harus mulai dilakukan jauh-jauh hari sebelum tanggal hari H pernikahan ditentukan, atau sebelum kita berpikir untuk menikah. Apa saja sih yang harus kita diskusikan dengan pasangan?

Sebelum masuk ke bagian itu, lebih dulu camkan ini dalam diri kita.

Deal with yourself before you deal with others.

Masih ingat kan? Kutipan dari psikolog ternama, Ratih Ibrahim, ini saya pegang teguh selalu dalam berbagai hal, mulai dari urusan diri sendiri, relasi dengan orang lain, pernikahan, hingga menjadi orang tua.

Ya, lebih dulu kita sudah membereskan isu-isu pribadi sebelum menantang diri untuk membangun pernikahan. Beberapa contohnya adalah:
  1.  Tahu persis kelebihan dan kekurangan diri sendiri
  2. Tahu bagaimana meregulasi emosi diri
  3. Mandiri, bisa mengambil keputusan sendiri, dan memecahkan masalah pribadi sendiri
  4. Percaya diri
  5. Sudah puas menyenangkan diri sendiri

Kalau kita sudah punya self-love, mudah bagi kita untuk berlanjut ke hubungan yang lebih serius. Beberapa isu bisa jadi muncul saat bertemu pasangan, misalnya bagaimana membangun rasa percaya atau berkomunikasi efektif dengan pasangan. Nggak apa-apa, justru begitu berbenturan dan masalah itu muncul, kita jadi terdorong untuk menyelesaikannya.

Hal terpenting adalah saat kita bertemu pasangan, yang bakal jadi pasangan seumur hidup, kita sudah punya kualitas diri yang oke: self-love, harga diri, percaya diri, dan kemandirian. Jadi, kita bisa jaga diri sendiri dan berani bilang ‘tidak’ andai pasangan melakukan sesuatu yang melanggar batas atau kesepakatan, misalnya.

Photo by Roman Kraft on Unsplash


Nah, kalau diri kita pun sudah matang, membina hubungan serius ke jenjang pernikahan seharusnya lebih mudah. Namun, tetap saja, pernikahan yang bahagia dan langgeng itu sesuatu yang harus diusahakan bersama. Oleh karena itu, penting banget untuk membicarakan beberapa hal berikut dengan pasangan sebelum kita memantapkan diri untuk menikahinya.

Apa saja?

Bagaimana cara berkomunikasi
Dalam setiap hubungan, komunikasi adalah faktor terpenting yang mampu menjaga hubungan tersebut bertahan lama, termasuk dengan pasangan. Mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan secara jujur itu nggak mudah lho. Apalagi, kebanyakan dari kita seolah terbiasa untuk memendam hal-hal yang nggak enak dibicarakan secara terbuka, daripada ngomongin ini blak-blakan.

Namun, jika kita berniat serius dengan pasangan, maka komunikasikan semua isi hati dan pikiran secara jujur padanya. Jangan hanya mengatakan hal yang ingin dia dengar, atau hal-hal manis, semata demi menjaga kelanggengan hubungan.

Biasakan untuk bercerita apa adanya. Luangkan waktu di akhir hari untuk sekadar berbagi cerita apa yang terjadi hari itu. Di sela-sela kegiatan harian, sempetin untuk bertanya hal-hal kecil, seperti sudah makan belum, makan pakai apa, sedang di mana, pulang jam berapa, dll. Dengan komunikasi yang baik, ini jadi dasar pula bagi kita dan pasangan untuk menghadapi konflik yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Tentang rasa percaya
Tahu kan kenapa anak itu tetap kembali ke ayah ibunya meski baru kena badai omelan? Ya, karena anak percaya pada orang tuanya. Begitu juga dengan pasangan, rasa percaya adalah hal penting yang harus kita bangun bersama. Tanpa percaya, dasar untuk membangun kelekatan emosi yang lebih intens akan sulit. Capek lho hidup dalam hubungan yang dilandasi kecurigaan.

Rasa percaya itu tumbuh saat kita bisa mengekspresikan perasaan apapun pada seseorang, dari rasa gembira, sedih, kecewa, cemas, hingga marah. Kita tahu kita bisa percaya pada dia saat dia tetap peduli dan mau mendengarkan, tanpa judging berlebihan.

Ya, memang gampang sih “menutupi” semua hal demi terlihat baik-baik saja. Namun, apakah benar itu yang kita mau untuk sebuah hubungan pernikahan nanti? Justru ketika kita atau pasangan mulai menutup-nutupi suatu hal, tandanya rasa percaya itu mulai pudar.

Soal uang
Buka-bukaan soal uang itu perlu lho. Ya, kalau masih pacaran, mungkin kita happy aja pas dibayarin makanan, dihadiahin ini itu sama pacar, tanpa bertanya itu uangnya dia dapat dari mana. Lah, iya kalau uangnya hasil kerja halal, kalau hasil *amit-amit* merampok, misalnya?

Membicarakan uang memang sensitif, tetapi justru isu finansial yang sering jadi biang kerok perceraian. Peneliti Jeffrey Dew menemukan bahwa membicarakan soal keuangan penting karena perdebatan tentang ini nggak selalu tentang uang semata. Namun, juga merefleksikan bagaimana komitmen, rasa saling menghargai, kekuatan, dan juga keadilan dalam hubungan dengan pasangan.

Nggak perlu juga pegang ATM pasangan. Setidaknya, kita dan dia sama-sama terbuka soal kondisi keuangan masing-masing. Misalnya, berapa kisaran jumlah tabungan, investasi apa saja, punya utang/piutang ke mana, berapa pengeluaran per bulan, dll. Dengan berbagi dan berdiskusi sedini mungkin soal finansial, lebih mudah juga buat kita menetapkan tujuan finansial saat menikah nanti. Termasuk jika terjadi perubahan situasi mendadak, seperti usaha mandek, salah satu resign atau lanjut kuliah, atau hanya salah satu yang bekerja.

Soal perubahan diri
Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Sebelum dan sesudah menikah adalah dua dunia berbeda. Mustahil seseorang tidak akan berubah setelah melalui berbagai pengalaman hidup penting baginya. Kita dan pasangan sama-sama perlu mempersiapkan diri pada perubahan ini. Termasuk di dalamnya, perubahan sifat, karakter, perilaku, hingga berat badan!

Kepribadian seseorang bukanlah sesuatu yang menetap. Namun, perubahan itu harus datang dari diri sendiri, bukan kita yang mengubahnya. Jadi, lupakan soal menjadi pahlawan kesiangan karena berpikir kita bisa mengubah pasangan setelah menikah nanti. Lebih baik, coba diskusikan kalimat ini: apa yang akan kamu lakukan kalau suatu hari nanti aku berubah?

Tentang anak
Begini, menikah bukan hanya soal bikin anak karena bikinnya gampang, tapi butuh komitmen seumur hidup untuk mendidik anak. Jadi, sebelum kita serius menikah, coba ngomongin ini dengan pasangan. Bukan dimulai dengan berapa jumlah anak, tapi mau atau tidak punya anak!

Hargai keinginan pasangan soal pilihan anak. Menikah bukan hanya tentang bagaimana meneruskan garis keturunan (meski pada akhirnya urusan dapat anak, jumlah anak, itu semua kuasa Allah SWT), tetapi membangun kehidupan lewat komitmen seumur hidup dengan orang yang sama.

Ada orang bilang, nanti jadi orang tua akan siap sendiri kok. Sayangnya, tidak pernah ada sekolah jadi orang tua. Dan jadi orang tua butuh kesiapan fisik dan mental karena kita punya tanggung jawab membesarkan seorang manusia. Sudah banyak cerita anak yang ‘disia-siakan’ orang tua karena beragam hal. Begitu juga soal orang tua yang ‘memuja’ anak bak raja atau ratu. Maka, pembicaraan tentang anak WAJIB didiskusikan sebelum menikah!

Soal Karir
Keputusan apakah kita atau pasangan tetap bekerja setelah menikah itu harus didiskusikan dan disepakati bersama. Kalaupun misalnya pasangan meminta kita untuk di rumah saja, pastikan kita juga sudah berdamai dan bisa menerima hal itu. Jangan hanya bilang iya-iya saja demi bisa menikah, tetapi ketikan menjalaninya dengan berat hati, mengeluh, dan nggak ikhlas.

Pun kalau pasangan mengizinkan kita bekerja, buat kesepakatan tentang pengelolaan rumah tangga. Ya, memang abstrak sih jika ngobrol ini sebelum nikah. Namun, garis besarnya tetap bisa dibahas kok. Contoh, “Eh, nanti pas sudah nikah kamu saja yang masak ya? Aku masak air aja gosong lho.” Bisa juga, “Aku dan kamu kan sama-sama kerja nih. Gimana kalau kita bikin satu hari pas weekend untuk beres-beres rumah? Nyuci nyetrika mah ke laundry aja ya!”

Yaaaaa, mengharapkan obrolan dan kesepakatan itu terealisasi dengan baik 100% nyaris nggak mungkin sih. Namun, setidaknya kita dan pasangan sudah sama-sama tahu soal harapan terkait karir dan urusan rumah tangga. Jadi, sama-sama bisa menerima kenyataan pula dan ikhlas menjalaninya nanti.

Satu lagi, jangan kita bersikap mengecilkan peranan pasangan, sekalipun ia hanya di rumah saja. Bekerja dari dan di rumah itu berat lho. Jadi, tetap apresiasi pasangan, ucapkan terima kasih, belikan makanan favoritnya, atau ajak makan di luar. Begitu pula jika pasangan bekerja di luar rumah. Selalu dukung penuh apa yang ingin dilakukan pasangan, selama itu bagus untuk aktualisasi diri pasangan.

Tinggal di mana setelah menikah?
Ini hal teknis, tetapi PENTING BANGET diomongin. Karena kalau mau tinggal di rumah orang tua atau mertua, artinya sama-sama menyiapkan diri dan pasangan dengan pondok mertua indah. Plus, harus siap juga dengan banyak intervensi terkait kehidupan rumah tangga kita.

Tempat terbaik adalah punya rumah terpisah alias rumah sendiri. Bukan hanya supaya bisa mandiri dan mengandalkan satu sama lain, tetapi juga meminimalisir benturan dengan orang tua masing-masing. Lagipula, nggak enak kan mau ena’-ena’ tapi ruang gerak terbatas? :P

Soal kehidupan seks
Oh, ini jangan diobrolin dulu ding pas sebelum menikah. Namun, HARUS jadi salah satu bahan diskusi setelah resmi menikah. Begini, setelah menikah hubungan seks itu belum tentu berlangsung lancar. Apalagi, kita dan pasangan sama-sama masih malu-malu kucing soal ini. Boleh dibilang, butuh percobaan ratusan kali sampai akhirnya bisa tahu posisi mana yang pas, nyaman, dan memfasilitasi kebutuhan pasangan.

Caranya juga bukan hanya trial and error, tetapi balik lagi ke poin 1: mengkomunikasikan semuanya dengan pasangan. Bicara jujur dengan pasangan, apa yang kita suka dan tidak suka, tanyakan padanya, apa yang dia suka dan tidak suka. Ini akan membantu kita dan pasangan saling memahami kebutuhan dasar masing-masing dengan sangat baik.

Lebih lanjut, persiapan pranikah yang perlu didiskusikan terkait poin ke-8 ini adalah soal kesehatan reproduksi. Sedini mungkin, mulai periksakan diri terkait riwayat kesehatan pribadi (misalnya, apakah kita atau pasangan punya penyakit bawaan), kebersihan alat reproduksi, vaksinasi (perempuan harus vaksin apa saja sebelum menikah?), hingga perencanaan alat kontrasepsi. Membiasakan diri berdiskusi soal kehidupan seks sejak awal pernikahan penting dalam menjaga kehangatan cinta di rumah, yang nantinya juga berdampak pada kehidupan keluarga dan tumbuh kembang anak.


Nah, itu 8 hal yang harus kita diskusikan bersama pasangan terkait persiapan pernikahan. Jelas bahwa pernikahan bukan hanya soal mempersiapkan pesta meriah tujuh hari tujuh malam. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan tugas kita membangun, membina, memupuk, dan memelihara cinta dalam pernikahan itu seumur hidup.
Photo by rawpixel on Unsplash



Dalam pernikahan yang sehat, ada diri kita dan pasangan yang merasa utuh, ada kita dan pasangan yang saling mencintai, dan anak-anak yang tumbuh bahagia. Jadi, tidak pernah ada kata terlalu dini untuk mempersiapkan pernikahan. Kita bisa mengawalinya dari diskusi-diskusi kecil tentang 8 hal di atas bersama pasangan. Semoga berhasil! 

*)Materi di atas disampaikan dalam sesi Kuliah Jumat Kontenesia, 8 Februari 2019.


Referensi




Merangkum Cerita di Dua Bulan Pertama 2019



Hai!

Tiga bulan lewat sejak post terakhir. Menjelang liburan akhir tahun lalu, saya memang (Alhamdulillah) lagi banyak pekerjaan. Jadi ya begitu hasilnya. Blog Challenge terbengkalai, kerjaan padat hingga H-1 sebelum berangkat liburan, sampai kembali ke Bontang pun berkutat dengan deadline. 

Pisang goreng srikaya Suka Hati memang nggak pernah salah

Masih ditambah dengan kepergian Eyang Uti (atau Ibu, saya memanggilnya demikian) tepat di hari jadi ke-7 Rasya, yang membuat saya terbang ke Jogja langsung menuju Sragen untuk mengantar Ibu hingga tempat peristirahatan terakhir. Malam itu pula saya dan anak-anak ikut rombongan keluarga besar ke Jakarta dan menghabiskan seminggu penuh di sana. Ya, dalam sebulan saya dua kali bolak-balik Balikpapan-Jakarta dan Balikpapan-Jogja plus Jakarta-Samarinda. Kebayang dong betapa lelahnya? Alhamdulillah, anak-anak sehat semua dan mereka justru tampak happy sekali saat harus terbang kedua kalinya. 

Januari dan Februari adalah bulan spesial buat kami. Rasya lahir di pertengahan Januari dan Runa lahir di pertengahan Februari. Namun, kepergian Ibu membuat kami hanya sempat berbagi kebahagiaan dengan teman main Rasya, tanpa sempat merayakan secara khusus. Baru pas Runa ulang tahun, kami makan siang enak di KFC sampai kenyang. Plus, tahun ini kami melengkapinya dengan sebuah kejutan besar yang tak disangka-sangka. 
Early birthday gift 

Sibuk merakit Lego NinjaGo hadiah ulang tahun

Meski di tengah sepi deadline, ditambah kenyataan bahwa tagihan (cicilan) tiket pesawat harus dibayar bulan depan, masih terselip rasa syukur dalam diri untuk menjalani bulan-bulan berikutnya dengan perasaan optimis. Ada satu project menanti kepastian. Saya juga tengah berusaha mengembangkan diri dan membuka lahan seluas-luasnya untuk kesempatan menulis. Apalagi, menyadari bahwa sampai dua tahun ke depan hanya pekerjaan ini yang mampu saya lakukan sepenuh hati. 

Resolusi tahun baru bukanlah sesuatu yang biasa saya lakukan lagi. Tidak sejak beberapa tahun lalu. Kadang yang terpikir hanya bagaimana menjadi orang lebih baik dan bisa mewujudkan impian kecil satu demi satu. 

Tahun ini fokus saya masih sama, coba menekuni dunia freelance content writer lebih serius dan maksimal. Belajar manajemen waktu lebih ketat tapi juga fleksibel. Belajar terus menjadi ibu yang lebih sabar untuk anak-anak. Belajar terus memahami suami dari segala sisi.  Dan tentu saja, belajar meluangkan waktu lebih banyak untuk diri sendiri, di tengah keterbatasan waktu.

Kapan-kapan, saya share soal me-time versi working at home mom ya! Oh! Seri itu juga lupa dilanjutkan ahahahha. 

Semoga apapun yang saya bagi di sini tetap jadi manfaat buat siapa saja. Seperti hari ini saya dibuat terkejut dengan naiknya view page post tentang review buku Antologi Rasa bertahun-tahun lalu. Agaknya, demam film Antologi Rasa juga merambah ke sini hehehe. Ingin sekali menonton, tapi harus menempuh 2,5 jam dulu ke Samarinda, hiks :(

Oke, selamat menikmati blog saya lagi. Doakan tetap semangat mengisi blog ya! Karena kalau semangat menulis, setiap hari saya juga menulis artikel -- untuk klien tapi! 

Have a nice weekend!


Salam, 
Dita
Powered by Blogger.