Tak disangka, saya perlu menuliskan soal ini kembali, kedua kalinya. Sejauh ini, saya sudah merelakan dan ikhlas, tetapi rasanya tetap ada sebagian diri saya yang limbung, membutuhkan penopang lebih besar dari biasanya.
Sejujurnya, sejak awal melihat dua garis merah, perasaan saya memang campur aduk. Bahagia iya, karena bisa memberikan adik untuk Rasya. Waswas juga, mengingat pengalaman hamil pertama yang ujungnya blighted ovum dan dikuret. Risau juga karena memikirkan banyak hal yang perlu dipersiapkan seterusnya. Saya sendiri kadang mempertanyakan kesiapan diri ini untuk kehamilan ketiga. Kesiapan tubuh, waktu, dana, dan kemampuan untuk membagi perhatian antara Rasya, suami, dan diri sendiri. Sampai akhirnya saya terlalu lelah dan flek berkelanjutan hingga harus bedrest total.
Saya pun sulit menemukan batas, seberapa cepat saya lelah, seberapa lama saya tahan beraktivitas. Ujungnya, minggu lalu saya flek terus menerus. Mulai dari flek pink, coklat, hingga darah segar. Panik tapi berusaha tetap cool, nggak ingin bikin suami khawatir, tapi ya nggak mungkin memang.
Selasa lalu, saya ke dokter kandungan untuk memeriksa kondisi kandungan. Dokter bilang, penebalan rahim memang sudah ada, tetapi kantung janin mungkin belum terbentuk. Dokter mengharuskan saya bedrest total dan dirawat di RS. Bagi saya, ini pengalaman yang berbeda dari dua kehamilan sebelumnya. Jika kehamilan pertama yang blighted ovum itu berakhir dengan pendarahan super banyak dan harus dikuret, maka kehamilan ketiga ini saya flek tak berhenti, sekalipun sudah diberi anti perdarahan. Hari kedua saya bedrest, sekuat-kuatnya saya berdoa, Allah berkehendak lain. Rabu siang, saya merasa 'sesuatu' keluar saat buang air kecil. Firasat saya nggak enak. Setelah gumpalan itu diperiksa oleh perawat, saya langsung telepon Mama dan suami. Saya bilang pada suami, "Sudah pasrah saja, Yah. Rasanya ini nggak bisa lanjut."
Benar saja, saat dokter memeriksa saya sore hari, itu memang sesuatu yang luruh dari rahim saya. Karena luruhnya tidak bersih benar, maka saya harus dikuret (lagi). Menghadapi tindakan kuretase, berarti harus mengumpulkan segenap keberanian lagi untuk melangkah ke ruang operasi. Saya hanya bisa menggandeng tangan Rasya yang ikut mengantar masuk ke ruang operasi, sambil menahan tangis.
Sebelum operasi, dokter kandungan menyapa saya dan berpesan untuk berdoa. Saya tak sadar selama operasi, yang saya tahu ruangan itu begitu dingin. Begitu saya tersadar, saya hanya bisa bersuara pelan, mengumpulkan kesadaran, dan memanggil suami dan Rasya. Tak lama, saya pun dipindah kembali ke kamar. Di sana sudah menunggu suami, Rasya, dan keluarga. Saat melihat Rasya, saya hanya bisa menangis dan bilang, "Maaf ya, Rasya, adik bayinya nggak jadi datang." Rasya memeluk saya, tampak riang, entah dia mengerti atau tidak. Namun, melihat Rasya ceria adalah obat bagi saya.
Pemulihan adalah proses yang ternyata memakan waktu lebih lama. Rasanya sih lebih lambat daripada pasca kuret di kehamilan pertama. Mungkin karena faktor umur ya? Atau faktor lainnya, seperti kondisi psikologis saya yang tak semantap dulu. Terlalu banyak pikiran mungkin. Menulis ini pun setelah saya merasa 'lebih mantap' dan berdamai dengan keadaan. Agaknya dokter cukup bijak memberikan waktu istirahat selama tujuh hari, sehingga kondisi fisik dan psikis bisa sama-sama membaik perlahan.
Malam setelah dikuret, saya takut sekali tidur. Saya takut jika tidur saya terbayang semua hal yang menyedihkan itu. Esok paginya pun, saya masih menangis mengingat hal ini. Dua hari setelahnya, saat seorang sahabat menghubungi saya, saya menceritakan semua dengan isak tangis lagi. Cengeng? Saya kira nggak, tapi ini proses dari menerima semuanya. Ketika saya menuliskan cerita ini di blog pribadi, saya merasa lebih ikhlas dan pasrah. Lebih tenang dan lebih bersyukur. Kondisi fisik masih 75%, sudah bisa beraktivitas normal, tetapi masih agak payah kalau harus pergi dan berdiri terlalu lama. Kondisi psikis saya boleh dibilang 85% hampir pulih. Masih ada sisa-sisa rasa sedih, tapi nggak membuat saya segitu drop-nya seperti minggu lalu.
Ya, hidup memang harus berlanjut. Kejadian ini menjadi alarm bagi saya bahwa ketika hamil lagi nantinya (amin!), saya harus ekstra istirahat dan betul-betul tidak boleh stres atau lelah. Tubuh saya ternyata tak sekuat biasanya jika sedang hamil. Sambil bersiap-siap 'menjemput' adik bayi untuk Rasya, kami sekeluarga perlu lebih bersiap diri dalam banyak hal. Semoga kelak hal baik ini akan kembali berkunjung ke keluarga saya. We'll meet again, Lil' baby :')