Sunday, August 26, 2018

#Modyarhood: Bermain sambil Belajar, Gampang tapi Susah!

Wah, akhirnya Modyarhood yang ditunggu-tunggu datang lagi!

Kalau Mamamo bilang nggak ada yang nungguin, salah banget. Saya terus bertanya-tanya, kapan nih ditantang untuk curhat ala buibu seputar pengasuhan anak. Alhamdulilah bulan ini ada, mana hadiahnya ciamik pula!

Apa tema bulan ini?
Mainan dan permainan anak-anak

Asyik! Soalnya, anak-anak dan mainan itu ibarat perangko dan amplop, juga kayak Indom***t dan A***mart, nggak bakal bisa dipisahin, pasti ke mana-mana selalu barengan.

Itu sih terjadi pada kedua anak saya. Si Kakak nih, setiap pergi pasti bawa mainan, terutama mobil-mobilan diecast kesayangannya (yang udah nggak bisa dihitung jumlahnya). Kalau si Adek belum terlalu keliatan, tapi saya selalu biasain dia bawa buku.

Apalagi, anak itu belajar lewat bermain. Nggak heran kalau majalah Bobo saja sempat pakai tagline begini, “Bobo, teman bermain dan belajar! B-O-B-O, BOBO!” Yak ketauan umur saya deh.

Tagline itu juga sejalan nih dengan apa yang dikatakan seorang antropolog Amerika Serikat, George Dorsey.

Playing is the beginning of knowledge
Nggak bermain, anak nggak belajar, karena bermain itu awal mula pengetahuannya terbentuk. Dengan bermain, anak terdorong untuk eksplorasi sesuatu yang baru. Ujungnya, dia jadi terampil dan menguasainya dengan baik.

Bolehlah para ahli bilang begitu. Menumbuhkan minat anak pada suatu mainan itu mungkin gampang, yang susah adalah bagaimana kita tetap KONSISTEN mendampingi anak bermain dan terus EKSPLORASI minatnya itu.

Semangat Beli? Konsisten Nggak?

Jujur deh, saya ini paling semangat beliin anak-anak mainan baru. Tapi berapa lama sih mainan itu bakal jadi bintang di rumah? Nggak lama sayangnya, paling banter dua minggu. Habis itu anak-anak ya balik lagi sama mainan yang itu-itu aja.

Kok bisa gitu?

Karena balik juga ke kita. Anak itu kan mencontoh plek-plekan apa yang kita lakukan. Kalau kita nggak ngajak dia main mainan tersebut, ya nggak bakal disentuh mainannya.

Akhirnya ya, saya balikin lagi ke anak. Apa yang bikin dia tertarik untuk dimainkan, asal nggak mainin perasaan lho. Itulah kenapa, sejak Rasya kecil dulu cita-cita saya punya seperangkat permainan Montessori sudah saya buang jauh-jauh. Karena saya tahu nggak bisa konsisten mendampingi dia bermain. Harganya pun nggak murah euy! Ini akhirnya berlanjut ketika Runa mulai aktif bermain.

Sebagai kompensasi, saya memberikan Rasya dan Runa kesempatan eksplorasi dari barang-barang yang ia temui sehari-hari. Toh dasarnya kan sama, yakni mengasah keterampilan motorik anak. Maka, saya biarkan ia bermain busa saat mandi, eksperimen dengan peralatan masak, pegang susu kotak sendiri sambil bolak-balik masukin sedotan, makan sendiri sampai belepotan, hingga mainin dompet saya (pernah kehilangan kartu penting gara-gara dibongkar Kakak, entah nyelip di mana).

Bener banget nih yang diutarakan Mamamo!



Cara ini cukup berhasil saya terapkan ke Rasya. Sebagai anak pertama, dia punya privilege karena semua orang menghujani dia dengan berbagai macam mainan. Hampir semua jenis mainan dia (pernah) punya. Tapi, mana yang akhirnya paling sering dia mainkan? Nggak banyak. Cuma mobil-mobilan dan Lego. Belakangan, dia juga lagi senang gambar, sehingga akhir-akhir ini lebih sering beliin dia buku gambar ketimbang mobil-mobilan (yeay, mamak lebih hemat!).

Bukannya saya nggak mencoba memperkenalkan semua jenis permainan ke Rasya ya. Malah, pas masih kerja dulu, boleh dibilang saya lebih rajin buka pinterest dan save semua DIY busybook, printable, dan inspirasi mainan ala Montessori. Sayang eksekusinya nyaris nol besar, persis kayak cerita Puty :D

Ya pernah sih beberapa kali, seperti fingerpaint pakai cat dari jelly, main busa berwarna modal sabun cuci piring dan pewarna makanan, bikin playdough sendiri, atau bikin DIY costume superhero dari kardus bekas. Cuma ya itu, balik lagi, nggak konsisten hahaha.

Apalagi, setelah ada Runa. Bekerja di rumah sebagai freelance content writer malah bikin saya makin malas nyiapin pernak-pernik mainan ala DIY gitu. Nggak sempat, beneran. Kalau lagi off, saya hanya pengen gegoleran aja atau baca buku. Bukan bikin prakarya.



Tuh, DIY busybook buat Runa terbengkalai begitu. Padahal, sudah jadi 2,5 halaman lho. Dan Runa kelihatan sudah mulai tertarik juga. Tapi semangat untuk berkarya kok masih redup ya, cuma mau beli juga sayang duit. Dilema ya?

Eksplorasi Lagi dan Lagi

Ada pepatah bilang, anak itu membutuhkan kehadiran kita, bukan hadiah-hadiah yang kita berikan. Itulah kenapa, anak nggak bakal bisa main sendiri gitu aja, tanpa pendampingan kita. Apalagi, anak usia 0 – 3 tahun. Harus ditemenin, diajarin cara mainnya, dan dikasih kesempatan anak untuk coba juga. Ngapain beli mainan mahal-mahal kalau kita nggak punya waktu untuk nemenin anak bermain, ya kan?


Sejalan juga sama konsisten tadi, tugas kita saat nemenin anak main adalah untuk eksplorasi minatnya. Dari berbagai mainan dan permainan yang pernah kita berikan, pasti nanti bakal mengerucut ke satu atau dua jenis saja. Kalau sudah di tahap itu, terus deh dipupuk pakai uang supaya minatnya makin terasah.

Lagi-lagi, saya sudah melihat ini pada Rasya. Minatnya pada Lego itu nggak tumbuh dalam semalam, sebulan, atau setahun. Lebih dari setahun!

Seperti di foto ini, semua berawal dari dia tertarik pada balok-balok kayu. Lalu, naik kelas main brick yang lebih besar seperti Duplo. Naik lagi tingkat kesulitannya, gimana dia merakit setiap brick Lego sesuai petunjuk gambar. Sampai sekarang, dia bisa bikin berbagai macam bentuk sesuai imajinasinya saja, tanpa panduan apa pun.

Kalau saya tanya, kok bisa sih dia bikin seperti itu? Rasya selalu jawab, “Aku bikin ini pakai otakku, Ma.” :D

Sama halnya seperti menggambar. Semua berawal dari … corat-coret tembok yang super masif di rumah. Sejak Rasya kenal krayon, dia pakai segala bidang buat ngetes krayon kesayangannya. Ya begitulah hasilnya hahaha. Tapi semakin terarah begitu ia besar, saya juga tinggal mendampingi dia untuk mengasah skill tersebut.

Pola serupa juga saya terapkan pada Runa. Sebagai reseller buku, siapa lagi yang jadi tester kalau bukan anak? Rasya pun saya kenalkan buku sejak kurang dari setahun, tetapi Runa lebih dini lagi. Dari usia 2 bulan sudah saya buatkan kartu bergambar kontras, juga beli buku high contrast dan board book kecil.


Lama kelamaan, saya melihat Runa lebih tertarik buku daripada mainan. Makanya, boleh dibilang mainan Runa nggak sebanyak Rasya. Dulu semua mainan toddler kayaknya Rasya punya. Sekarang, Runa pakai mainan Kakak waktu kecil. Kalaupun ada yang baru, itu hadiah dari eyangnya. Atau ayahnya yang beliin karena nggak rela si pwetty bébé hanya main mainan bekas kakaknya. Paling banyak ya boneka, karena anak gadis ini gemas banget lihat yang unyu-unyu.



Lewat buku juga saya melatih keterampilan motorik Runa. Beberapa jenis buku yang punya fitur flip flap, geser putar, touch and feel seperti buku terbitan Rabbit Hole ini jadi andalan saya. Selain itu, sama seperti Rasya, saya juga membiarkan Runa coba-coba sendiri apa yang ia lihat sehari-hari, termasuk mainan Lego punya kakaknya dan tentu saja, dompet saya.

Cara ini tentu lebih hemat biaya kan? Hidup buibu medit, eh irit!



Nah, gampang kan ngajak anak bermain sekaligus belajar? Sekarang tinggal kita yang membenahi diri supaya bisa tetap KONSISTEN mendampingi anak bermain demi bisa EKSPLORASI minat anak. Bagian dari kewajiban kita sebagai orang tua lho!
Ssssttt…ajak pak suami juga ya, buibu!

Salam,
Dita

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.