Sunday, November 25, 2018

5 Fakta tentang Saya yang Belum Banyak Orang Tahu

Wuuoooo! Setelah ngos-ngosan mengejar dua posting yang terlewat, akhirnya sampai juga di hari ke-6 BPN 30 Day Challenge 2018.

Semoga tetap bisa berada fase yang sama ya, meski gempuran deadline setia menanti (demi liburan akhir tahun!).


Topik hari ini sangat menarik, terutama bagi saya yang senang bercerita tentang diri sendiri hahaha. Ya, ini tentang 5 fakta diri saya yang belum banyak orang tahu. Oh, tapi ini kan menurut saya ya. Bisa saja ternyata sudah banyak yang tahu, bisa juga nggak.

Atau jangan-jangan ada yang teman-teman tahu tentang diri saya, tetapi saya nggak tahu? Hmmm…..bisa gawat kalau begitu! Hehehehe :D

Tapi, apa sih 5 fakta tentang diri saya yang belum banyak orang tahu?

Minus mata kanan dan kiri saya tidak sama

Saya sudah berkacamata sejak kelas 3 SD dan langsung minus 2. Kejadian ini ditemukan pertama kali oleh wali kelas saya yang curiga karena saya kerap salah mencatat soal saat ulangan. Usut punya usut, kebiasaan membaca sambil tiduran dan di tempat temaram jadi penyebabnya. Namun, keturunan berkacamata alias mata minus ini juga begitu kuat dari keluarga Papa. Bahkan, Papa saja pun minus 8!

Sedihnya, semakin pertambahan usia, minus mata saya juga terus bertambah. Paling bikin bete adalah minus mata kanan dan kiri tidak sama. Mata kanan saya minus 8,25 dan mata kiri saya minus 4,75, ditambah silinder di kedua mata. Makanya, ketika ada masanya saya senang pakai softlense, tekor dong karena harus beli dua kotak yang berbeda ukuran minus. Rugi bandar!

Untung masa-masa itu nggak berlangsung lama karena pakai kacamata jaaauuuhhh lebih nyaman. Soal minus ini pula yang membuat saya harus melahirkan secara Caesar karena memang retina saya tipis (sudah pernah periksa di dokter mata). Kalau ditanya, kenapa nggak dilaser saja? Hmm…mending dipakai untuk yang lain deh hihihi.

Sudah 4 kali hamil

Iya, anak saya dua orang, Rasya (6,5 tahun) dan Runa (20 bulan). Kok 4 kali hamil?

Begitulah, saya punya riwayat keguguran. Ini sesuatu yang nggak saya sangka mengingat Mama, meski ada riwayat plasenta previa saat hamil saya dan adik saya yang besar, tidak pernah punya sejarah keguguran. Tentu saja keguguran tidak diwariskan, tetapi ternyata kondisi tubuh setiap perempuan itu berbeda.

[Baca di sini untuk keguguran pertama dan keguguran kedua]

Singkat cerita, Februari 2011 saya positif hamil. Namun, pada usia kandungan 10 minggu, dokter menemukan kantung janin dalam rahim saya kosong atau tidak berkembang. Setelah pemeriksaan itu, hari itu juga saya pendarahan hebat (untung masih di rumah sakit) dan langsung di-opname lalu kemudian dilakukan tindakan kuretase keesokan harinya. Alhamdulillah 45 hari pasca kuretase, saya balik lagi ke dokter kandungan dan dinyatakan hamil Rasya. Deg-degan banget pas nunggu mendengar detak jantung janin di minggu ke-13.

Lalu, akhir Juli 2015 saya positif hamil. Terus terang, ini ‘kebobolan’ karena kami belum merencanakan dengan matang kehadiran anak ke-2. Makanya, saya tetap beraktivitas seperti biasa. Mungkin memang Allah belum ngasih juga ya, pertengahan Agustus 2015, pada usia kandungan 6 minggu, saya flek terus menerus hingga harus bed rest. Baru hari kedua, saya keguguran dan harus operasi kuretase lagi. Keguguran kali kedua ini bagi saya lebih berat pemulihannya, terutama dari sisi psikologis. 

Alhamdulillah, tepat satu tahun kemudian, saya hamil Runa. Kalau yang ini memang direncanakan dan sudah acc suami, yang tengah sibuk menyusun tesis untuk menyelesaikan S2. Jadi, Runa adalah hasil tugas belajar suami yang paling nyata :D

Baru bisa mengendarai motor belum lama ini

Saya memang kuliah di Jogja, tetapi nggak bikin saya bisa lancar naik motor selama kuliah di sana. Selain menurut orang tua saja naik mobil itu lebih baik daripada naik motor, saya juga sebetulnya tipe yang nggak berani-berani amat bawa kendaraan sendiri. Itulah kenapa, meski pernah kursus nyetir mobil saat kuliah, tapi nggak tuntas dan nggak jadi ambil SIM.

Jadilah sejak kuliah sampai bekerja di Jakarta, saya mengandalkan transportasi umum (bus transjakarta favoritku!) dan tentu saja antarjemput pribadi yang paling setia: adik laki-laki saya yang besar.

Sampai saya pindah ke Bontang pun, dapat rezeki kerja di dekat rumah, bisa jalan kaki saja. Ndilalah suatu hari saya harus membantu unit SMA, yang nggak bisa dijangkau dengan jalan kaki. Itulah momen titik balik di mana saya pun belajar mengendarai motor. Jadi ya, SIM C pertama saya bertahun 2013. Itu saja ketika kembali kerja di BSD, saya masih nggak diizinkan orang tua untuk naik motor sendiri ke kampus. Akhirnya, tetap jadi pelanggan setia ojek online saja hahaha.

Pernah menang Lomba Blog Ayahbunda

Satu-satunya pencapaian terbaik saya dalam lomba blog hingga detik ini adalah jadi pemenangI Lomba Blog Ayahbunda tahun 2012. Itu luar biasa! Karena kali pertama ikut lomba serupa, hanya mengincar hadiah ke-3 (karena belum punya oven!), tetapi atas izin Allah SWT malah dihadiahi yang lebih baik. Meski tidak ada acara seremonial khusus atau follow up setelahnya, saya bangga sekali atas pencapaian itu. Semoga saja prestasi serupa bisa terukir kembali ya dalam waktu dekat. Aaaammiiinn!

Sedang fokus pada passion sebagai penulis

Sejak resign setelah 10 tahun kerja kantoran, saya sempat kehilangan arah: mau ke mana ini ‘karir’ saya? Berdiam di rumah tanpa melakukan apa-apa bukanlah sesuatu yang saya sukai. Sampai akhirnya, suami mendorong saya untuk serius menekuni dunia tulis menulis. Alhamdulillah setelah lepas dari kontributor Tabloid Nakita (yang terpaksa berhenti terbit dan sukses bikin saya patah hati berkepanjangan), saya bertemu teman-teman di Kontenesia. Di sinilah saya ditempa menjadi penulis konten profesional, dengan sistem kerja yang lebih terstruktur dan sistematis.


Di samping itu, dengan bekerja dari rumah seperti saat ini, bikin saya juga lebih fokus untuk menghasilkan suatu buku. Aduh, ini mah cita-cita banget ya karena menjadi penulis konten tidak selamanya mendapatkan kredit (mengingat ada NDA dan kesepakatan lain dengan klien yang membuat nama penulis tidak bisa dicantumkan). Namun, tantangan saya masih terletak pada manajemen waktu yang relatif sulit. Mungkin butuh waktu lebih lama bagi saya untuk bisa menghasilkan buku, tetapi bukan berarti hal itu mustahil diwujudkan, bukan?


Naaahhh, itu dia 5 fakta tentang saya yang belum banyak orang tahu. Memang benar ya, tak kenal maka tak sayang. Sesekali seru juga berbicara tentang diri sendiri seperti ini, malah jadi ajang refleksi dan introspeksi diri ya.

Kapan-kapan coba lagi ah!

Salam,

Dita 

Saturday, November 24, 2018

Beberapa Hal yang Tidak Saya Bagikan di Media Sosial

Halo!

Ini adalah posting hari ke-5 BPN 30 Day Challenge 2018.

Tema yang disodorkan adalah tentang media sosial. Nah, jika banyak blogger yang sudah membahas soal kenapa perlu bermain media sosial, kenapa harus eksis di media sosial, atau apa yang diperoleh dari media sosial, maka kali ini saya akan membahas tentang beberapa hal yang tidak saya bagikan di media sosial.

Topik ini cukup menarik dan terinspirasi dari instagram stories @Nenglita beberapa hari lalu. Iya juga ya, dari sekian banyak hal yang di-share setiap orang, pasti ada beberapa hal yang lebih suka disembunyikan atau disimpan untuk konsumsi sendiri maupun kalangan terbatas.

Demikian juga dengan saya.

Seperti pernah saya ceritakan tentang tema yang sering saya tulis di blog, ada beberapa hal yang nyaris tidak pernah saya bahas melalui akun media sosial. Pada akhirnya, ini memang hal yang prinsipil sih dan tentu saja berbeda-beda untuk setiap orang. Topik itu lebih nyaman dibicarakan offline alias diskusi dengan suami atau sahabat, bukan untuk diperbincangkan di dunia maya yang berujung pada debat kusir tidak berkesudahan.

Lalu, apa saja yang tidak saya bagikan di media sosial?

Photo by Ricardo Mancía on Unsplash

Politik

Iyaaaa, saya tahu ini topik terpanas sepanjang tahun. Mendadak semua orang tiba-tiba pintar soal politik ini, meski pengetahuannya terbatas. Apalagi, kalau sudah menyangkut presiden pilihan, lalu ikut kubu A atau kubu B, dan seterusnya. Saya bukan orang yang tertarik dengan politik. Bagi saya, tidak masalah siapa presiden yang terpilih, selama saya dan keluarga masih bisa memperoleh kehidupan yang layak dengan bekerja. Namun, bukan berarti saya tidak punya pilihan ya, ada dong (tapi rahasia tentu saja). Jadi, biarkan ini menjadi pembicaraan saya bersama suami saja. Setidaknya, saya tahu kami berada di perahu yang sama hehehe.

Agama

Ya, isu ini pun sama panasnya dengan politik. Susah bagi saya untuk membicarakan soal agama terang-terangan. Ini adalah hal yang pribadi, terkait prinsip dan hubungan vertikal saya dengan Allah SWT. Maka, saya memilih untuk menyimpannya sendiri. Sesederhana itu saja sih.

Rumpi gosip

Okelah saya akui, saya punya lingkaran pertemanan kecil untuk urusan rumpi dan gosip. Namun, pantang bagi saya untuk mengangkat rumpi gosip ini ke media sosial. Cukup kalangan terbatas saja yang tahu tentang apa saja yang dibicarakan, termasuk pendapat soal gosip tersebut. Nggak pada tempatnya juga membicarakan kehidupan orang lain di media sosial. Siapa sih kita dan apa urusannya dengan kehidupan mereka? Lebih baik, simpan pendapat sendiri daripada mengungkapkannya di media sosial, bukan?

Permasalahan rumah tangga

Tentu saja saya dan suami bukan artis atau selebgram, maka nggak pada tempatnya juga curhat atau membuka aib keluarga di media sosial. Meskipun, bukan berarti juga jika artis atau selebgram lalu boleh umbar masalah pribadi dan pernikahan di sini. Ya, kalau lagi kesal sama suami ya mending diselesaikan baik-baik, bukan umbar-umbar di depan khalayak. Atau, cukup cerita pada sahabat saja. Pun jika ada orang yang memang mem-posting kehidupan rumah tangga-nya di media sosial, cukup bersikap suportif saja. Kadang orang yang sedang bermasalah itu hanya butuh didengarkan. bukan dinasihati panjang lebar yang menurut kita paling tepat. Terlebih lagi, kalau disarankan oleh orang yang nggak tahu apa-apa, nggak ngerti situasinya, kenal juga nggak. Boro-boro masalah selesai, bikin runyam iya. 


Itu 3 hal yang tidak saya bagikan di media sosial. Jelas bahwa media sosial merupakan tempat bersenang-senang, menjalin silaturahmi, dan membuat pertemanan baru, bukan memancing perdebatan dan mencari musuh. Jadi, pusing-pusing amat sih membahas hal-hal berat atau sesuatu yang kita pun sebetulnya awam soal tersebut. Mending angkat topik yang benar kita kuasai, kita senangi, atau apapun yang lebih banyak mengundang manfaat daripada adu argumen.

Btw, ini hanya pendapat saya lho. Kalau memang ada teman-teman yang senang membahas ketiga hal tadi ya silakan saja. Yang penting, sampaikan dengan elegan dan berlandaskan semangat kedamaian. Setuju?

Salam,

Dita

Friday, November 23, 2018

Memacu Diri untuk Lebih Maju Bersama Blogger Perempuan

Oke, sebelumnya saya mohon maaf atas nama deadline (yang lagi-lagi saya salahkan), sehingga challenge hari ke-4 terpaksa mundur dan di-publish bersama dengan hari ke-5. Well, selalu ada prioritas kan?

Jujur saja nih, sejak bekerja di rumah, saya belajar apa yang disebut ‘let it go.’ Bukan kayak di film Frozen ya, tetapi melepas apa yang tidak bisa saya pegang atau tangani sendiri saat itu juga. Dulu pas masih kerja kantoran, saya terbiasa kalau targetnya hari itu sekian ya harus selesai sekian. Nggak boleh kurang nggak boleh lebih. Namun, yang terjadi adalah saya terlalu keras pada diri sendiri dan memaksa diri bekerja sampai batas maksimal. Ujungnya, hasil yang didapat juga nggak optimal.

Makanya, sekarang saya punya prinsip: kalau capek ya sudah, tidur dulu. Kalau nggak bisa selesai saat ini ya sudah, istirahat dulu, dikerjakan nanti. Bukaaann, bukan berarti saya menganggap challenge ini main-main. Saya hanya memilih mana yang lebih penting. Siapa yang tega sih cuekin anak yang setia menanti saya selesai kerja untuk bermain sama-sama?


Nah, balik lagi ke soal tema hari ke-4, mengapa saya bergabung di Blogger Perempuan Network?

Saya ingat banget ketika ikut giveaway desain blog Mbak Shintaries tahun 2012. Saat itu memang jaraaaanngg sekali ada blog theme yang perempuan banget. Makanya, saya tertarik ikut giveaway tersebut. Sejak itulah ‘pertemanan’ dengan founder BPN ini terbina hehehe.

Ketika BPN hadir, saya merasa ‘wah ini mah buat perempuan banget!’ Apalagi, banyak kegiatan menarik, termasuk lomba blog yang cocok buat ibu-ibu. Bayangkan, ada satu komunitas yang isinya perempuan keren semua dan punya segudang kegiatan positif untuk pemberdayaan perempuan. Mengapa saya tidak ambil bagian di dalamnya?

Sampai ketika kemarin saya blogwalking ke blog Mbak Shintaries idolaque tentang Cara Memaksimalkan Keanggotaan di Blogger Perempuan Network. Dan, saya tertohok sedalam-dalamnya! Sebab, meski sudah kenal BPN sejak awal berdiri, saya belum mencicipi semua kemudahan di dalamnya.

Kalau boleh beralasan, hal ini terjadi lantaran saya sempat jarang nge-blog selama 2015 – 2017, tepat saat BPN baru berkembang. Meski tahu dan ada beberapa post saya yang masuk di BPN, tetapi saya rupanya belum mengaktifkan keanggotaan BPN (walau sudah menerima newsletter). Ini baru sadar sesadarnya lho! (salim sama Mbak Shintaries).

Setelah membaca posting itu, saya pun berjanji dan bertekad untuk lebih optimal memanfaatkan keanggotaan di BPN. Salah satunya, selain rajin posting blog¸ juga lebih rajin ikut lomba blog. Ikut challenge ini pun merupakan upaya konkrit saya untuk lebih ‘unjuk diri’ alias tampil. Kadang iri lihat teman2 sesama blogger yang berdedikasi luar biasa dan konsisten ngeblog untuk memberikan konten menarik. Saya merasa masih jadi remah-remah rengginang melihat itu. Ngaku blogger tapi mainnya masih di situ-situ aja *tutup muka*

Jadi, sudah waktunya saya lebih serius nge-blog! Nggak hanya rajin menulis karena dikejar deadline, tetapi menulis karena ingin berbagi dan bercerita. Apalagi, isi kepala saya terlalu banyak dan sayang untuk diendapkan dan disimpan sendiri hehehe. Sekarang tinggal mengumpulkan semangat nge-blog lagi seperti dulu.

Semangat!

Doakan saya ya!

Salam,

Dita

Thursday, November 22, 2018

Kisah di Balik Nama Cerita Si Hejo

Hari ke-3 BPN 30 Day Challenge nih.

Sudah mulai kewalahan karena saya juga (Alhamdulillah) sedang ada deadline artikel. Kalau lagi sibuk begini, jam tidur bisa terbalik-balik. Untungnya kerja di rumah, jadi mau tidur siang dulu kelonan bareng anak-anak ya nggak masalah hihihihi.

Nah, topik hari ini adalah kenapa memberi nama Cerita Si Hejo untuk blog ini. Kenapa ya? Duh, saya jadi harus mengingat-ingat zaman muda alias alay lagi. Tiga topik pertama blog challenge ini sukses bikin saya membuka-buka masa lalu hahaha.

Oke, ada alasan kenapa saya menamakan blog ini demikian. Sekali lagi, ini semua berdasarkan ke-alay-an saya 12 tahun lalu dan membuat saya sedikit menyesal mengapa tidak berlaku agak profesional kala itu. Namun, namanya juga masih muda, siapa saja pasti pernah berbuat hal agak aneh, bukan? *pembelaan*

Pada dasarnya, saya ini penyuka warna hijau. Saat kuliah dulu, hampir seluruh perabotan di kamar kos berwarna hijau. Dari seprai, karpet, gorden, rak buku, selimut, piring dan gelas, hingga pintu kamar (ini sih kebetulan ya). Bahkan, iPod mini andalan saya warnanya hijau lho, salah satu benda paling keren yang pernah saya punya hahaha.

Makanya, atas dasar itulah saya menamakan blog pribadi ini Cerita Si Hejo.

Meski terdengar agak alay, nyatanya blog ini bertahan melintasi zaman *tsaaahhhh. Ketika menjadi guru BK SMP periode 2011 – 2014, saya sering promosi blog ini pada murid-murid. Nggak menyangka ternyata ada sebagian dari mereka yang rajin mengikuti cerita-cerita saya. 

Pada periode itu pula, blog ini jadi sarana saya ‘menyiarkan’ kabar keluarga kecil ini kepada keluarga di kota asal. Ya, karena status saya tinggal di kota sekarang adalah perantau, makanya blog kerap jadi tempat curhat sekaligus ajang berkabar versi lebih detil dari sekadar postingan Facebook atau Twitter.

Oyaaa, pada zamannya saya juga pernah beruntung menjadi salah satu pemenang giveaway makeover blog dari Mbak Shintaries lho! Waktu itu senang banget pas dipilih sebagai pemenang hahaha karena akhirnya zaman kegelapan blog telah sirna. Tiba-tiba blog saya jadi cantik dan genit. 

Theme blog itu bertahan sangat lama, 2012 – 2017, lebih karena saya sempat vakum ngeblog selama tinggal di Jakarta (2014 – 2017). Sampai saya memutuskan tampilan baru yang lebih simpel dan ‘kekinian’, meskipun saya nggak yakin tampilan demikian apakah sudah cukup bagus hahahaha.

Jadi yaaa….itulah cerita di balik nama blog ini. Sebagai nostalgia, ini sebagian header blog yang pernah saya buat. Lumayan lah ya buat pemula? *memuji diri sendiri*






Desain blog lama yang sempat saya screencapture 


Mungkin jika saya punya rezeki untuk beli domain, nama blog ini akan dipertahankan, lantaran sudah cukup identik dan melekat dengan diri saya. Boleh kan? Boleh donggg! ;)

Salam,

Dita

Wednesday, November 21, 2018

Kenapa Tema Blog Saya Campur Aduk?


Topik yang diangkat adalah tema blog apa yang disukai. Lalu, saya sibuk buka-buka arsip blog dari tahun 2006 sampai sekarang. Kalau teman-teman iseng lihat daftar blogpost tersebut, pasti nggak akan menemukan tema yang sama deh.

Iya, tema blog saya campur aduk.

Jauh sebelum profesi blogger booming dan semua blogger mesti ngerti soal SEO dan niche blog, saya hanya menulis apa yang ingin saya tulis saja. Bagi saya, menulis blog itu seperti menulis buku harian. Ini buku harian versi digital saya. Apa saja yang terpikirkan atau sedang menarik perhatian, langsung saya tuangkan dalam blog.

Makanya, walau tema blog ini campur aduk, tetapi tema tersebut berkembang beriringan dengan kedewasaan diri saya (ya, baik dari segi umur maupun psikologis). Blog ini tumbuh bersama saya dan memotret dengan jelas bagaimana kehidupan yang saya jalani. Dari usia 20-an saat masih lajang, usia 25 – 30 tahun sebagai istri dan ibu beranak satu, sampai usia 33 tahun sekarang sebagai working at home mom dengan dua krucil di rumah.

Namun, kalau harus memilih tema blog yang paling disukai, maka saya akan memilih tema ini.

Photo from Unsplash


Parenting

Sebagian besar tulisan di blog saya bertema parenting, terutama sejak saya hamil dan melahirkan Rasya. Boleh dibilang tahun 2012 – 2014 adalah masa paling produktif blog ini. Beberapa teman katanya selalu mengikuti blogpost tentang MPASI Rasya. Saya juga sering berbagi cerita tentang tumbuh kembang Rasya. Beberapa yang mungkin menarik lagi untuk dibaca:

Tema ini juga sejalan dengan pekerjaan sampingan saya sebagai kontributor di Tabloid Nakita pada 2015 – 2017. Semuanya hanya karena saya suka berbagi pengalaman saja soal pengasuhan. Lagipula, tema ini timeless dan terus berkembang seiring pertambahan usia anak. Hanya saja, sejak beranak dua, saya sedikit absen membahas soal ini. Padahal, tumbuh kembang Runa berbeda jauh dengan Rasya lho, yang pasti juga menarik untuk diceritakan. Hmm…oke, nanti saya akan menyempatkan diri untuk menulis soal tumbuh kembang Runa ya!

Pemikiran (sok) serius

Nggak tahu kenapa, mungkin karena kata-kata ini terus bermunculan dalam benak saya tanpa henti, makanya saya sering punya pemikiran (sok) serius tentang banyak hal. Waktu masih muda dulu sih, saya masih sanggup mikirin dunia dengan segala permasalahannya. Namun, seiring bertambah usia, yang berarti bertambah pula tanggung jawab saya, memikirkan gimana cara Rasya mau menghabiskan bekal alih-alih jajan di kantin sekolah saja sudah cukup bikin kepala saya pening. Boro-boro mikirin dunia hahaha.

[Intip tulisan 'serius' di sini: Sebuah Proses...]

Oh, bukan berarti saya apatis ya. Namun, pemikiran (sok) serius soal politik dan agama nyaris jarang saya tampilkan dalam media sosial. Bukan apa-apa, saya bukan tipe orang yang senang berdebat panjang lebar soal sesuatu. Lagipula, saya bermain media sosial untuk senang-senang, ngomongin hal-hal receh sampai yang (sedikit) berfaedah bagi ibu-ibu muda nan kece. Kedua isu itu cukup didiskusikan saja dengan kalangan terbatas.

Working at home

Setelah menjalani profesi  freelance content writer sekitar setahun, saya tergerak untuk berbagi pengalaman tentang bagaimana kerja di rumah. Sebagai anak kantoran selama 10 tahun, memberanikan diri untuk bekerja di rumah itu jelas perubahan yang sangat besar. Makanya, saya sedang menyiapkan seri tulisan ini. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah setiap tulisan tersebut bukan bertujuan untuk ‘memaksa’ siapapun bekerja di rumah saja.

[Saat lelah bekerja di rumah, baca  Cara Menjaga Motivasi saat Deadline Menumpuk]

Apapun pekerjaan ibu, baik sebagai working mom, working at home mom, atau stay at home mom, semuanya sama! Sama-sama memberikan cinta untuk keluarga dengan caranya sendiri. Menghargai dan mendukung keputusan seorang ibu itu jaaauuuuhhhhh lebih baik daripada sibuk menanyakan hal-hal kecil terkait perannya sebagai ibu.  No mom-shaming here!

Small stuffs

Kadang, saya rindu menulis hal-hal kecil dan mem-posting begitu saja di blog seperti zaman blog secara mobile kala ponsel paling keren hanya tipe candy bar atau mentok di blackberry. Saya bebas posting foto-foto atau video Super Junior, foto road trip, hingga OOTD iseng-iseng. 

[Salah satu yang paling receh, Rejeki Sore Hari]

Tapi, kayaknya hal itu terjadi karena dulu belum ada Instagram atau stories ya. Sekarang sih jelas lebih praktis unggah di Instagram ketimbang di blog. Oke, mungkin selanjutnya perlu juga membahas hal-hal receh yang penting nggak penting di blog ini, seperti hmmmm…….. kenapa Siwon itu gantengnya nggak ketulungan? :D


Nah, itu empat tema blog yang saya sukai. Walau hingga detik ini saya belum menemukan niche blog ini, tetapi ini bukan masalah besar. Mengingat pekerjaan harian saya adalah menulis, maka sudah seharusnya blog ini jadi ajang ‘melepaskan’ diri untuk menulis sebebas dan semau saya. Lupakan soal SEO, EYD, apalagi pusing meletakkan keyword, atau bikin judul yang bombastis, cukup menulis apa adanya dan biarkan cerita mengalir begitu saja.

Selamat datang di blog campur aduk versi saya!

Salam,

Dita

Tuesday, November 20, 2018

Ini 3 Alasan Kenapa Menulis Blog



Halooooo!

Seperti biasa, setelah lelah memainkan kata untuk bekerja, saya coba menyempatkan diri untuk bercerita sesuai tema yang diusung pada hari pertama.

Ya, mengapa saya menulis blog?

Jauh sebelum blog ini lahir, lebih dulu saya punya beberapa blog dengan nama yang uhuk, agak alay untuk zaman sekarang. Maklum, saya menulisnya saat masih kuliah dulu. Setiap orang pasti punya masa-masa alay dong ya?

Blogpost pertama blog ini tercatat pada Agustus 2006 dengan tampilan yang masih cupu sekali. Biar cupu, tapi saya setengah mati ‘mengerjakan’ tampilan itu berbekal modal nekat mengedit css dll blog. Kalau diingat-ingat, sekarang pun saya juga sudah lupa cara membuat tampilan blog unyu seperti itu hahaha.

Photo from Unsplash


Namun, alasan saya menulis blog sebetulnya sederhana saja, yaitu:

Menuangkan kata-kata

Saya ini orang yang sangat visual. Semua kejadian mungkin bisa terekam dengan detil penampakan visualnya, tetapi saya bisa dengan cepat melupakan apa yang dikatakan oleh orang lain maupun ucapan saya sendiri. Menulis membantu saya menuangkan kata-kata dari suatu peristiwa, momen, maupun buah pemikiran yang selintas lalu lewat dalam benak ini.

Nah, blog adalah wadah paling tepat untuk menampung seluruh kata yang berjejalan dalam pikiran itu. Kala instagram stories terlalu mudah dilupakan, atau karakter caption terbatas, blog jelas jadi pilihan.

Menyalurkan hobi

Zaman sering bertukar buku harian dengan  teman, saya ingat pernah mencantumkan hobi menggambar, bermain organ/keyboard, membaca, dan menulis. Bahkan, cita-cita saya adalah pelukis atau penulis. Seiring waktu, menulis pun telah jadi hobi sejak saya kecil hingga saat ini. Blog menjadi media pilihan saya dalam menyalurkan hobi menulis ini. Kapan-kapan saya akan cerita deh bagaimana awal mula saya serius dalam bidang tulis menulis ya!


Membuat hobi lebih produktif

Blog bagi saya bukan lagi sekadar blog sejak saya resign dari pekerjaan kantoran. Menulis kini menjadi pekerjaan yang saya geluti secara serius, termasuk dalam membuat blog ini lebih berjaya alias bisa menghasilkan. Makanya, saya ngeblog pun dengan tujuan agar hobi ini bisa menghasilkan. Sejak awal tahun ini saya sudah menggunakan Google Adsense, meski hasilnya belum tampak lantaran saya begitu sibuk menaikkan traffic blog/web orang lain (baca: klien) hahaha. 

Ke depannya pun saya ingin membeli domain sendiri agar hobi blog ini jadi lebih ‘serius.’ Lumayan kan untuk menambah penghasilan?


Itu 3 alasan kenapa saya menulis blog. Pastinya setiap orang punya alasan yang berbeda ya.

Satu hal yang pasti, menulis blog dan menjadi bagian dari Komunitas Blogger Perempuan ternyata mampu menghadirkan pengalaman baru. Tidak hanya berkenalan dengan sesama anggota BP Network, tetapi juga bisa saling bertukar informasi dan berbagi pengalaman. Lebih jauh lagi, saya melihat menulis blog sebagai kekuatan perempuan untuk memberdayakan diri dengan segala kemampuan yang dimiliki.

Bangga rasanya bisa menjadi bagian dari perempuan Indonesia yang berdaya!

Nah, kalau teman-teman, kenapa memilih untuk menulis blog? Ayo, share di sini ya.


Salam,
Dita  

Saturday, November 17, 2018

Working at Home(3): Menjaga Motivasi Saat Deadline Bertumpuk


Photo from Unsplash

Hai! Lama tak bersua!

Pada seri Working at Home bagian 3, saya ingin bercerita soal menjaga motivasi saat deadline bertumpuk. Ini berdasarkan pengalaman nyata, nggak hanya teori saja karena saya baru saja mengalaminya sendiri.

Bulan Oktober jadi bulan pertama saya bekerja sebagai penulis inhouse di Kontenesia. Ya, boleh dibilang, menambahkan kata inhouse di depan nama itu jadi kebanggaan tersendiri, salah satu pencapaian terbaik saya di tahun 2018.
Ini termasuk kelas tertinggi dan untuk sampai di posisi tersebut nggak mudah. Apalagi, saya baru serius menulis untuk media pada tahun 2015 dan fokus sebagai content writer per Desember 2017 lalu. Dalam waktu 10 bulan, saya belajar banyak hal dari rekan-rekan penulis dan editor-editor kece di Kontenesia, juga kritik dan masukan dari klien tentunya. Makanya, sejak awal bekerja di sini, saya bilang pada suami, “Yah, kalau aku bisa jadi penulis inhouse, aku serius di sini aja ya, nggak usah kerja kantoran dulu.” Alhamdulillah, kesampaian!

Namun, tentu saja, naik kelas berarti bertambah juga tugas yang diemban. Selain lebih besar peluang mendapat pekerjaan (bisa dapat uang lebih banyak dong!), saya juga bebas mau ambil pekerjaan sebanyak apapun, ASAL bisa diselesaikan tepat waktu.

Nah, bulan lalu Kontenesia dapat rezeki dengan kebanjiran pesanan artikel yang jumlahnya luar biasa. Saya pun turut berpartisipasi mengambil job sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan. Saat siap-siap mengerjakan artikel klien A, eh datang tawaran job klien B, terus ada lagi dari klien C. Nggak diambil kok sayang, kasihan job dicuekin. Tapi pas sudah ngambil, langsung MODYAR lihat deadline yang berdempetan. Mau nangis tapi nggak bisa, Cuma bisa mengerjakan aja sampai selesai. Total dalam sebulan kemarin saya menyelesaikan 108 artikel dengan jumlah kata bervariasi, mulai dari 200 kata hingga 3.000 kata. MATEK!

Artinya, tiada hari tanpa mengetik dan bertatapan mesra dengan layar laptop. Saya terbangun setiap jam 01.00 dini hari, kadang jam 00.30. Ngulet-ngulet bentar, stalking IG bentar, terus nulis sampai jam 05.00. Lanjut kerja lagi pas Runa tidur, sekitar jam 10.00 – 12.00. Istirahat makan siang, lanjut lagi sampai jam 16.30. Suami pulang, saya tidur. Begituuuuu terus selama seminggu. Nggak heran masakan saya di minggu-minggu itu hanya berkisar antara ayam goreng tepung, sop jagung, atau orak-arik telur aja. Boro-boro bikin camilan, beli aja, udah capek hahaha.

Makanya, kalau orang bisa ‘takjub’ betapa produktifnya saya karena menulis setiap hari, percayalah itu semua karena dikejar deadline. Saya bukan tim nyicil, tapi tim mepet deadline sampai dijapri editor (salim sama editor-editor cantik). Bisa istirahat satu hari tanpa ketemu laptop aja sudah pencapaian luar biasa!

Melihat beban kerja yang ‘gila’ seperti itu, ditambah deadline yang bertumpuk, satu pertanyaan pun muncul: bagaimana cara menjaga motivasi di tengah situasi demikian?


4 Cara Menjaga Motivasi

Terdengar mustahil ya, bisa tetap termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaan kala deadline saling balapan. Kalau kerjaan menumpuk begitu, paling gampang memang ditinggal aja. Sayangnya, itu nggak membuatnya tiba-tiba selesai. Seseorang harus segera menyelesaikan itu dan cuma kita yang bisa karena itu pekerjaan kita, kan?

Nah, supaya tetap bisa termotivasi walau digempur deadline, coba deh praktikkan 4 cara ini.

Ambil jeda untuk istirahat

Kok bisa menjaga motivasi kerja dengan istirahat? Bukannya malah bikin kerjaan makin lama kelarnya?

Eits, rumusannya nggak begitu ternyata. Kita bukan bekerja untuk beristirahat, tetapi beristirahat untuk bekerja. Iya sih, kadang ada pikiran ‘Ah, nanggung, istirahat nanti aja, dikit lagi selesai.’ Namun, itu baru di tataran pikiran aja kan? Faktanya, badan kita nggak kuat lagi, nggak sanggup bekerja lebih lama. Jadilah kita mengantuk, kelelahan, dan butuh istirahat. Saat alarm tubuh sudah memberikan sinyal, kita wajib berhenti. Yakin deh, bekerja dengan tubuh lelah dan pikiran acak-acakan nggak akan membuat hasil kerja jadi optimal.

Namun, supaya istirahatnya nggak kelamaan, beri batasan waktu yang tegas. Istirahat tidur siang setelah semalaman suntuk bekerja itu boleh banget. Ajak anak jalan-jalan ke minimarket atau pesan makanan favorit pakai layanan pesan antar cukup untuk menyegarkan diri.

[Cek di sini, 6 Hal yang Harus Dilakukan Setelah Mendapat Pekerjaan]

Lakukan kegiatan lain

Nah, pas istirahat, jangan coba-coba menyinggung apapun terkait pekerjaan. Prinsipnya, work hard, play hard. Fokus kerja boleh, tapi pas waktunya senang-senang, ya jangan ngomongin kerjaan dong. Lakukan kegiatan lain, walau itu hanya stalking IG atau window shopping di e-commerce. Bagus juga kalau bisa curi-curi 1 episode Terius Behind Me sambil lihat So Ji Sub (ini mah saya!). Buka Spotify dan nyanyi-nyanyi sepuasnya. Pokoknya, menyenangkan diri sendiri dulu deh!

Nggak perlu mengerjakan semua hal sendiri

Salah satu tantangan terbesar kerja di rumah adalah kita harus mandiri dalam segala hal. Nggak ada bos yang memantau atau rekan kerja yang mengingatkan ini itu. Makanya, harus bisa mengatur macam-macam. Apalagi, kalau sudah punya anak seperti saya. Nggak hanya mengatur waktu bekerja, tapi juga mengurus anak-anak, suami, dan rumah. Waktu 24 jam itu terasa kurang sekali kala kerajaan deadline menyerang. 

Dalam situasi seperti ini, mudah banget motivasi menurun hanya karena kita merasa payah nggak mampu mengerjakan semua urusan rumah dengan baik. Maka, wajib ingat satu hal: nggak perlu mengerjakan semua hal sendiri! Kalau lagi sibuk banget dan nggak sempat masak, beli saja. Nggak bisa beberes rumah, panggil pembantu pulang pergi atau jasa bersih-bersih. Cuci setrikaan menggunung, ke laundry aja. Jangan paksa diri untuk menangani semuanya. FOKUS pada apa yang penting saat itu dan buat PRIORITAS.

Beri reward untuk diri sendiri

Saat sebagian atau setelah semua pekerjaan selesai, jangan segan memberi penghargaan untuk diri sendiri. Kita telah bekerja begitu keras lho. Malam-malam seperti zombie telah berlalu, waktunya ke salon untuk perawatan. Beli buku incaran dan habiskan waktu untuk membaca setiap halaman sampai tuntas. Doyan makan? Langsung pergi ke kafe favorit atau pesan antar makanan kesukaan hanya untuk diri sendiri. Kelihatannya ‘kecll’, tetapi cara ini ampuh untuk membuat motivasi kita terjaga. Penghargaan pertama justru harus datang dari diri kita sendiri!



Dari hari-hari kelam bersama kantung mata yang menebal, saya sadar keputusan menumpuk deadline secara sadar seperti itu memang nggak baik untuk kesehatan. Eh, tapi baik untuk kesehatan tabungan :D

Satu hal yang pasti, dalam kondisi demikian, merasa nggak semangat untuk menyelesaikannya itu wajar. Namun, bukan karena kita menyerah, tetapi karena kita bekerja terlalu keras. Jadi, beri jeda pada pikiran dan tubuh yang kelelahan. Dengan beristirahat sejenak itulah, kita sedang berusaha menjaga motivasi diri agar tetap bertahan dan menyelesaikan tugas hingga garis akhir.

Tetap semangat, ya!

Salam,
Dita

Saturday, September 22, 2018

Working At Home (2): 6 Hal yang Harus Dilakukan Setelah Mendapat Pekerjaan

Halo!

Kita bertemu lagi untuk sharing kedua tentang working at home. Jika pada bagian pertama kita awali dengan cara mulai bekerja di rumah, kali ini saya akan membahas lanjutannya.

Apa yang harus dilakukan setelah mendapat pekerjaan?

Ya, sekarang satu job sudah di tangan, terus gimana nih? Mungkin itu yang pertama kali muncul dalam benak teman-teman. Atau, malah merasa kaget dan takjub, “Kok ada sih orang yang berpikir saya bisa mengerjakan hal ini?”

Wah, itu berarti teman-teman sungguh punya kemampuan dan orang lain melihat itu. Segera atasi rasa shock itu dan langsung fokus pada pekerjaan yang didapat ya! Ssstt…ada deadline-nya lho!

Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash

6 Hal yang Harus Dilakukan Setelah Mendapat Pekerjaan

Supaya nggak makin penasaran, coba intip 6 langkah ini ya!

Pahami pekerjaan secara rinci

Dalam pekerjaan tersebut, pasti klien memberikan brief tertentu. Setahu saya, di platform pekerjaan lepas setiap pekerjaan sudah punya deskripsi tentang apa yang harus dikerjakan dan diharapkan oleh klien. Berdasarkan informasi itulah biasanya kita terdorong untuk melamar pekerjaan tersebut.

Setelah resmi mendapatkan pekerjaan tersebut, biasanya klien akan menghubungi kita. Ini berdasarkan pengalaman saya menggunakan Sribulancer ya. Jujur, saya sendiri belum pernah berhasil mendapat job di situs tersebut. Namun, sudah pernah bertukar kontak dengan salah satu klien dan melakukan penjajakan awal. Pada tahap ini, kita boleh kok meminta deskripsi pekerjaan lebih rinci. Harus malah, supaya kita bisa mengerjakan sesuai harapan klien.

Lalu, pahami setiap detail tersebut. Jika ada yang tidak mengerti, coba googling dulu, baru konfirmasi kepada klien, apakah benar hal tersebut yang dimaksud. Berhubung semua pekerjaan remote ini dilakukan tanpa tatap muka, maka perhatian pada hal-hal kecil itu akan sangat membantu kita dalam menyelesaikan job.

Riset itu harus!

Apapun jenis pekerjaan yang kita dapat, selalu biasakan diri untuk melakukan riset lebih dahulu sebelum mulai mengerjakannya. Misalnya, saya mendapat pesanan artikel dengan tema bahan bangunan rumput sintetis. Agar tahu apa yang harus ditulis, maka harus melakukan riset kecil-kecilan lewat Google tentang macam-macam rumput sintetis, faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam membeli dan pemasangan, hingga bagaimana perawatannya. Dari informasi tersebut, baru saya bisa membayangkan kerangka tulisan seperti apa.

Bagaimana dengan pekerjaan lain, seperti desain poster atau ilustrasi? Riset tetap perlu, supaya kita bisa dapat inspirasi untuk topik yang diminta klien. Lebih jauh, jika klien mencantumkan identitas diri atau profil usahanya, lakukan juga riset untuk hal tersebut. Ini penting untuk memahami ‘kepribadian’ klien. Memang tidak semua klien mau buka-bukaan soal hal itu, lagi-lagi karena semua pekerjaan ini berlangsung dalam jalur online, di mana anonim itu adalah ‘hal biasa.’

Namun, jika kita memperoleh pekerjaan dari lini bisnis yang cukup besar, biasanya mereka cukup terbuka dengan informasi tersebut. Bahkan, mereka juga sudah punya panduan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Balik lagi ke poin satu: pahami betul brief yang diberikan!

Kapan deadline-nya?

Nah, ini dia yang kadang suka kita lewati. Perhatikan baik-baik kapan deadline pekerjaan ini harus dikirim kepada klien. Sangat baik jika kita punya satu agenda atau gunakan saja fitur kalender di hp untuk mencatat setiap deadline pekerjaan yang diambil. Dari situ, kita jadi bisa mengelola waktu kita saat mengerjakan setiap job. Termasuk tahu kapan perlu cari job lagi.

Pengalaman saya dengan Kontenesia, hampir setiap hari ada posting job dari admin. Namun, karena sistem pengambilan job secara lelang (siapa cepat dia dapat), maka belum tentu juga setiap hari dapat job. Akan tetapi, saya selalu berusaha mengambil pekerjaan dengan deadline yang tidak bertumpuk, maksimal tiga hari berturut-turut. Habis itu biasanya saya akan off dulu.

Masalahnya adalah kadang job sering datang di saat kita ingin istirahat hahaha :D Well, untuk satu ini saya balik ke prinsip ini: nggak ambil kesempatan yang ada, nggak dapat pekerjaan, maka uang juga nggak datang. Jadi, selalu berakhir dengan tetap ambil pekerjaan deh!

Kerjakan sesegera mungkin

Ini kuat banget hubungannya dengan soal menunda dan rasa malas. Apalagi, kalau jumlah pekerjaan tersebut banyak. Bisa dicicil, paling nggak mulai dari riset lebih dulu. Coba bikin corat-coret di buku catatan atau diskusi dengan seseorang yang mungkin memahami topik tersebut.

Prakteknya sih, saya bukan anggota anti mepet deadline club. Harus diakui, kerja mepet tenggat waktu itu bikin otak lebih semangat meluncurkan ide-ide segar hahaha. Namun, bagi saya hal ini berlaku untuk proses penulisan saja. Riset dan membangun kerangka tulisan sudah saya lakukan sejak hari pertama mendapat pekerjaan. Cuma eksekusi sering nungguin waktu dan mood yang tepat. Nggak jarang juga, ide-ide segar itu justru datang pada jam 2 atau 3 dini hari. Makanya, saya lebih suka bekerja pada jam tersebut.

Boleh ditiru nggak menurut teman-teman? ;)

Kirim ke klien dan bersiap untuk revisi

Nggak ada satu pekerjaan pun yang sempurna. Maka, begitu kita kirimkan hasil pekerjaan pada klien, bersiaplah untuk revisi. Berapa kali revisi? Tergantung klien, sampai mereka merasa puas dengan hasil kerja kita. Harus bersikap gimana saat klien complain soal hasil jerih payah kita? Tetap tenang dan jangan baper. Kalau kita baper, yang ada pekerjaan nggak selesai, uang juga nggak didapat. Sayang kan?

Bukan, bukannya saya jadi mendewakan klien bahwa kemauan mereka harus selalu dituruti. Namun, sebagaimana lazimnya layanan jasa, sebagai pemberi jasa tentu kita harus memberikan yang terbaik pada klien. Karena dari pelayanan terbaik itulah klien akan merasa puas dan tahu bagaimana kualitas diri kita, sehingga ia akan repeat order. Balik lagi ke kita untuk meminta jasa berikutnya.

Sekali lagi, pekerjaan ini tidak ada tatap muka atau kehadiran fisik sama sekali. Semua komunikasi berlangsung lewat kata-kata, dan mungkin suara atau video conference. Maka, kita juga harus siap mengerahkan kemampuan terbaik demi mendapatkan kepercayaan dari klien. Jadi, bukan cuma skripsi atau tesis yang harus direvisi berkali-kali, pekerjaan juga lho hehehe.

Kirim invoice yuk!

Terakhir, jangan lupa untuk menagihkan invoice pada klien ya! Jika teman-teman mendapat pekerjaan melalui platform untuk freelancer, silakan cek situs masing-masing perihal penagihan ini. Jika pekerjaan tersebut didapat secara personal, bisa berikan tagihan tertulis. Oya, pastikan soal revisi juga sudah termasuk dalam penagihan tersebut, sehingga teman-teman tidak rugi waktu dan tenaga ketika klien meminta revisi. Di Kontenesia, setiap klien membayar sejumlah tertentu untuk paket artikel yang diinginkan dengan batas revisi maksimal dua kali.



Itu dia 6 hal yang harus dilakukan setelah mendapat pekerjaan. Siklus ini bakal berulang terus setiap kali kita memperoleh job. Mungkin sedikit susah awalnya untuk membiasakan diri, tetapi setelah satu dua kali akhirnya kita bisa terbiasa dengan pola tersebut. Plus, jadi lebih pandai mengatur waktu pengambilan job.

Yuk, coba praktekkan di rumah!


Salam,
Dita

Sunday, September 16, 2018

Working At Home: 4 Cara untuk Mulai Bekerja di Rumah



Terhitung sudah satu tahun lebih saya resign dari kantor dan pindah ke Bontang untuk mendampingi suami bekerja di sini. Satu tahun pula saya tidak bekerja kantoran dan otomatis baju-baju kerja saya pun menganggur. Kostum harian paling hanya kaos dan celana, kadang daster malah. Tapi apakah saya lalu hanya sibuk dengan urusan rumah dan anak?

Alhamdulillah, saya masih punya kesibukan lain selain itu. Iya, saya kini menjadi freelance content writer di Kontenesia, penyedia layanan jasa penulisan artikel. Terhitung sejak akhir Desember 2017, sudah sekitar 9 bulan saya bekerja di sana. Hampir setiap hari saya harus berkutat dengan laptop dan membuat beragam artikel sesuai permintaan klien. Beragam tema sudah saya kerjakan, dari yang familier sampai yang kadang ajaib atau asing di telinga. Dari yang hanya 200 kata, caption, sampai 3.000 kata.

Bagian terbaiknya adalah semua dikerjakan secara remote alias dari rumah masing-masing. Hingga detik ini, belum pernah sekalipun saya bertatap muka dengan tim manajemen Kontenesia. Semua komunikasi dilakukan melalui chat room di platform khusus. Begitu pula soal pengambilan pekerjaan. Saya belajar menjadi penulis profesional di sini, termasuk teknis SEO dan EYD, serta pengeditan dasar tulisan. Nggak pakai teori, semua langsung praktek, learning by doing.

Apa yang saya lakukan sering mengundang tanya dari keluarga dan teman. Kamu ngapain aja? Kerja di rumah memang bisa menghasilkan? Cukup nggak tuh? Urusan rumah dan anak-anak gimana? Atau yang paling bikin penasaran: bagaimana cara mulai bekerja di rumah?

Nah, untuk beberapa post ke depan, saya akan coba berbagi soal working at home atau bekerja di rumah. Kali ini, kita bahas soal bagaimana cara mulai bekerja di rumah. Yuk, simak bersama!


4 Cara Mulai Bekerja di Rumah

Saya teringat ketika sudah resign, saya sibuk sekali mencari informasi soal pekerjaan lepas di  Sribulancer. Namun, setelah beberapa kali mencoba bidding pekerjaan, belum berjodoh. Saat itu, saya masih fokus sebagai kontributor Tabloid Nakita. Sampai akhirnya Nakita berhenti terbit dalam format media cetak pada Desember 2017, bertepatan dengan bukaan lowongan kerja penulis di Kontenesia. Mungkin memang sudah jalannya demikian ya. Ketika satu pintu itu tertutup, pintu lain terbuka.

Berkaca dari pengalaman saya pribadi, plus beberapa hasil baca-baca singkat di The Balance Careers, berikut 4 cara untuk mulai bekerja di rumah.

Kenali passion dan keahlian yang dimiliki

Inilah pentingnya punya suatu keahlian yang sungguh dikuasai. Cari tahu apa passion atau sesuatu yang kita kuasai dengan baik. Misalnya, suka menggambar, bikin kerajinan tangan, memasak, menulis, edit video, utak-atik software, senang mengatur ini itu, menyanyi, main alat musik, menari, atau jadi MC.

Kalau saya, kebetulan menulis itu sudah hobi sejak lama. Baru terpikir untuk jadi ladang penghasilan sejak resign dan pindah. Lewat tulisan di blog pribadi dan artikel-artikel parenting di Nakita, saya merasa cukup percaya diri untuk melamar pekerjaan sebagai penulis lepas di Kontenesia. Sisanya? Ya tetap belajar dan terus mengasah kemampuan untuk jadi penulis yang lebih profesional. Karena meski jadi freelancer, kan tetap ada aturan-aturan yang mengikat. Bebas yang terbatas itu tetap berlaku sekalipun kita menjadi seorang pekerja lepas.

 

Cari informasi dan tempat yang tepat untuk memulai

Sudah tahu apa keahlian yang dimiliki? Sekarang waktunya cari informasi dan tempat yang tepat untuk memulai. Langsung googling saja pekerjaan apa yang ingin dicari atau bergabung ke situs seperti Sribulancer, Freelancer, dan Get Craft. Pahami juga bagaimana aturan yang berlaku dan cara kerjanya. Lalu ikuti deh sistem yang berlangsung. Atau, bisa juga dengan mempromosikan diri ke teman soal jasa yang bisa dilakukan.

Beberapa artikel menarik yang bisa dibaca:


Siapkan “lingkungan kerja” yang kondusif

Meski kerjanya hanya di rumah, bukan berarti nggak butuh tempat kerja yang nyaman. Ini sebetulnya relatif sih buat setiap orang. Punya meja kerja sendiri memang lebih enak. Bikin kita fokus sama kerjaan. Atau kalau memang hobinya kerja di kafe atau co-working space yang lagi tren itu juga oke-oke saja (asal dananya cukup ya!). Kalau saya, punya beberapa spot enak di rumah untuk bekerja. Paling sering di tempat tidur karena sambil nemenin anak tidur siang. Kadang di meja makan. Mana yang pas sesuai kondisi.

Soal peralatan, tentu sesuai dengan pekerjaan yang kita tekuni. Paling standar laptop dan koneksi internet yang cukup. Nggak punya koneksi internet atau wi-fi seperti saya? Manfaatkan tethering wi-fi dari smartphone saat harus kirim email. Browsing bahannya cukup lewat hp saja. Jadi, nggak mesti nunggu punya fasilitas super wah untuk mulai kerja di rumah. Modal utama sih cuma satu: NIAT.  

 

Punya time management yang baik

Siapa bilang jadi freelancer itu sungguh-sungguh bebas? Nggak, justru karena bebas itu kita harus pandai mengatur waktu. Ya itu tadi, bebasnya terbatas. Apalagi, kalau kita sudah berkeluarga, tantangan time management jadi double. Dasar mengelola waktu dengan baik adalah punya prioritas.

Jika masih lajang, tentunya lebih mudah. Kita hanya harus mengalahkan diri sendiri, yang kadang muncul lewat rasa malas dan ingin menunda pekerjaan. Saya juga sering merasakannya kok :D Namun, coba bentengi hal tersebut dengan membuat jadwal rutin untuk bekerja. Misalnya, setiap hari kita punya dua sesi untuk bekerja di rumah, yakni pukul 09.00 – 12.00 dan pukul 14.00 – 17.00. Di luar jam itu, kita bisa melakukan kegiatan harian lainnya. Waktu kerja ekstra alias lembur bisa dilakukan jika memang sedang dikejar deadline. Asal, imbangi juga dengan istirahat cukup dan makan teratur.

Berbeda dengan saya yang menjadi working-at-home-mom. Waktu kerja saya nggak sefleksibel itu, tapi tetap bisa produktif. Setiap hari, saya baru bisa buka laptop dengan tenang jika Runa tidur pagi atau siang. Paling lama hanya tiga jam. Di luar itu, sering multitasking, menemani anak-anak sambil bekerja. Plus, bangun jam 2.30  untuk bekerja penuh sampai jam 5 pagi.

Kalau sedang on fire, pada kurun waktu tersebut saya bisa menghasilkan 2 – 3 artikel, tergantung jumlah kata. Namun, pernah juga satu artikel kelarnya lamaaaa sekali karena diajak main terus sama anak-anak hahaha. Mau nggak mau saya pun bangun pagi-pagi buta biar bisa fokus menulis.



Nah, itu 4 cara mulai bekerja di rumah. Kelihatannya simpel memang, tapi paling penting tentu saja NIAT yang kuat

Bagi saya pribadi, ketika seseorang berani mengambil keputusan untuk bekerja di rumah alih-alih pekerjaan kantoran, maka ia sudah punya motivasi kuat untuk terus memacu dirinya maju dan berkembang. Karena prinsip bekerja di rumah adalah nggak ambil kesempatan yang ada, nggak dapat pekerjaan, maka uang juga nggak datang.

Jadi, berani coba mulai bekerja di rumah?

Salam,

Dita

Sunday, August 26, 2018

#Modyarhood: Bermain sambil Belajar, Gampang tapi Susah!

Wah, akhirnya Modyarhood yang ditunggu-tunggu datang lagi!

Kalau Mamamo bilang nggak ada yang nungguin, salah banget. Saya terus bertanya-tanya, kapan nih ditantang untuk curhat ala buibu seputar pengasuhan anak. Alhamdulilah bulan ini ada, mana hadiahnya ciamik pula!

Apa tema bulan ini?
Mainan dan permainan anak-anak

Asyik! Soalnya, anak-anak dan mainan itu ibarat perangko dan amplop, juga kayak Indom***t dan A***mart, nggak bakal bisa dipisahin, pasti ke mana-mana selalu barengan.

Itu sih terjadi pada kedua anak saya. Si Kakak nih, setiap pergi pasti bawa mainan, terutama mobil-mobilan diecast kesayangannya (yang udah nggak bisa dihitung jumlahnya). Kalau si Adek belum terlalu keliatan, tapi saya selalu biasain dia bawa buku.

Apalagi, anak itu belajar lewat bermain. Nggak heran kalau majalah Bobo saja sempat pakai tagline begini, “Bobo, teman bermain dan belajar! B-O-B-O, BOBO!” Yak ketauan umur saya deh.

Tagline itu juga sejalan nih dengan apa yang dikatakan seorang antropolog Amerika Serikat, George Dorsey.

Playing is the beginning of knowledge
Nggak bermain, anak nggak belajar, karena bermain itu awal mula pengetahuannya terbentuk. Dengan bermain, anak terdorong untuk eksplorasi sesuatu yang baru. Ujungnya, dia jadi terampil dan menguasainya dengan baik.

Bolehlah para ahli bilang begitu. Menumbuhkan minat anak pada suatu mainan itu mungkin gampang, yang susah adalah bagaimana kita tetap KONSISTEN mendampingi anak bermain dan terus EKSPLORASI minatnya itu.

Semangat Beli? Konsisten Nggak?

Jujur deh, saya ini paling semangat beliin anak-anak mainan baru. Tapi berapa lama sih mainan itu bakal jadi bintang di rumah? Nggak lama sayangnya, paling banter dua minggu. Habis itu anak-anak ya balik lagi sama mainan yang itu-itu aja.

Kok bisa gitu?

Karena balik juga ke kita. Anak itu kan mencontoh plek-plekan apa yang kita lakukan. Kalau kita nggak ngajak dia main mainan tersebut, ya nggak bakal disentuh mainannya.

Akhirnya ya, saya balikin lagi ke anak. Apa yang bikin dia tertarik untuk dimainkan, asal nggak mainin perasaan lho. Itulah kenapa, sejak Rasya kecil dulu cita-cita saya punya seperangkat permainan Montessori sudah saya buang jauh-jauh. Karena saya tahu nggak bisa konsisten mendampingi dia bermain. Harganya pun nggak murah euy! Ini akhirnya berlanjut ketika Runa mulai aktif bermain.

Sebagai kompensasi, saya memberikan Rasya dan Runa kesempatan eksplorasi dari barang-barang yang ia temui sehari-hari. Toh dasarnya kan sama, yakni mengasah keterampilan motorik anak. Maka, saya biarkan ia bermain busa saat mandi, eksperimen dengan peralatan masak, pegang susu kotak sendiri sambil bolak-balik masukin sedotan, makan sendiri sampai belepotan, hingga mainin dompet saya (pernah kehilangan kartu penting gara-gara dibongkar Kakak, entah nyelip di mana).

Bener banget nih yang diutarakan Mamamo!



Cara ini cukup berhasil saya terapkan ke Rasya. Sebagai anak pertama, dia punya privilege karena semua orang menghujani dia dengan berbagai macam mainan. Hampir semua jenis mainan dia (pernah) punya. Tapi, mana yang akhirnya paling sering dia mainkan? Nggak banyak. Cuma mobil-mobilan dan Lego. Belakangan, dia juga lagi senang gambar, sehingga akhir-akhir ini lebih sering beliin dia buku gambar ketimbang mobil-mobilan (yeay, mamak lebih hemat!).

Bukannya saya nggak mencoba memperkenalkan semua jenis permainan ke Rasya ya. Malah, pas masih kerja dulu, boleh dibilang saya lebih rajin buka pinterest dan save semua DIY busybook, printable, dan inspirasi mainan ala Montessori. Sayang eksekusinya nyaris nol besar, persis kayak cerita Puty :D

Ya pernah sih beberapa kali, seperti fingerpaint pakai cat dari jelly, main busa berwarna modal sabun cuci piring dan pewarna makanan, bikin playdough sendiri, atau bikin DIY costume superhero dari kardus bekas. Cuma ya itu, balik lagi, nggak konsisten hahaha.

Apalagi, setelah ada Runa. Bekerja di rumah sebagai freelance content writer malah bikin saya makin malas nyiapin pernak-pernik mainan ala DIY gitu. Nggak sempat, beneran. Kalau lagi off, saya hanya pengen gegoleran aja atau baca buku. Bukan bikin prakarya.



Tuh, DIY busybook buat Runa terbengkalai begitu. Padahal, sudah jadi 2,5 halaman lho. Dan Runa kelihatan sudah mulai tertarik juga. Tapi semangat untuk berkarya kok masih redup ya, cuma mau beli juga sayang duit. Dilema ya?

Eksplorasi Lagi dan Lagi

Ada pepatah bilang, anak itu membutuhkan kehadiran kita, bukan hadiah-hadiah yang kita berikan. Itulah kenapa, anak nggak bakal bisa main sendiri gitu aja, tanpa pendampingan kita. Apalagi, anak usia 0 – 3 tahun. Harus ditemenin, diajarin cara mainnya, dan dikasih kesempatan anak untuk coba juga. Ngapain beli mainan mahal-mahal kalau kita nggak punya waktu untuk nemenin anak bermain, ya kan?


Sejalan juga sama konsisten tadi, tugas kita saat nemenin anak main adalah untuk eksplorasi minatnya. Dari berbagai mainan dan permainan yang pernah kita berikan, pasti nanti bakal mengerucut ke satu atau dua jenis saja. Kalau sudah di tahap itu, terus deh dipupuk pakai uang supaya minatnya makin terasah.

Lagi-lagi, saya sudah melihat ini pada Rasya. Minatnya pada Lego itu nggak tumbuh dalam semalam, sebulan, atau setahun. Lebih dari setahun!

Seperti di foto ini, semua berawal dari dia tertarik pada balok-balok kayu. Lalu, naik kelas main brick yang lebih besar seperti Duplo. Naik lagi tingkat kesulitannya, gimana dia merakit setiap brick Lego sesuai petunjuk gambar. Sampai sekarang, dia bisa bikin berbagai macam bentuk sesuai imajinasinya saja, tanpa panduan apa pun.

Kalau saya tanya, kok bisa sih dia bikin seperti itu? Rasya selalu jawab, “Aku bikin ini pakai otakku, Ma.” :D

Sama halnya seperti menggambar. Semua berawal dari … corat-coret tembok yang super masif di rumah. Sejak Rasya kenal krayon, dia pakai segala bidang buat ngetes krayon kesayangannya. Ya begitulah hasilnya hahaha. Tapi semakin terarah begitu ia besar, saya juga tinggal mendampingi dia untuk mengasah skill tersebut.

Pola serupa juga saya terapkan pada Runa. Sebagai reseller buku, siapa lagi yang jadi tester kalau bukan anak? Rasya pun saya kenalkan buku sejak kurang dari setahun, tetapi Runa lebih dini lagi. Dari usia 2 bulan sudah saya buatkan kartu bergambar kontras, juga beli buku high contrast dan board book kecil.


Lama kelamaan, saya melihat Runa lebih tertarik buku daripada mainan. Makanya, boleh dibilang mainan Runa nggak sebanyak Rasya. Dulu semua mainan toddler kayaknya Rasya punya. Sekarang, Runa pakai mainan Kakak waktu kecil. Kalaupun ada yang baru, itu hadiah dari eyangnya. Atau ayahnya yang beliin karena nggak rela si pwetty bébé hanya main mainan bekas kakaknya. Paling banyak ya boneka, karena anak gadis ini gemas banget lihat yang unyu-unyu.



Lewat buku juga saya melatih keterampilan motorik Runa. Beberapa jenis buku yang punya fitur flip flap, geser putar, touch and feel seperti buku terbitan Rabbit Hole ini jadi andalan saya. Selain itu, sama seperti Rasya, saya juga membiarkan Runa coba-coba sendiri apa yang ia lihat sehari-hari, termasuk mainan Lego punya kakaknya dan tentu saja, dompet saya.

Cara ini tentu lebih hemat biaya kan? Hidup buibu medit, eh irit!



Nah, gampang kan ngajak anak bermain sekaligus belajar? Sekarang tinggal kita yang membenahi diri supaya bisa tetap KONSISTEN mendampingi anak bermain demi bisa EKSPLORASI minat anak. Bagian dari kewajiban kita sebagai orang tua lho!
Ssssttt…ajak pak suami juga ya, buibu!

Salam,
Dita
Powered by Blogger.