Membaca majalah TEMPO edisi 14 Agustus 2006 benar-benar menggugah hati. Kemerdekaan selama 61 tahun tak dibarengi kemerdekaan hidup. Tulisan Goenawan Mohamad sebagai pembuka amat menyentuh. Dalam tulisan itu, GM mengutip puisi W.H. Auden.
…no one exists alone;
Hunger allows no choice
To the citizen or the police
We must love one another or die.
Lalu GM menambahkan serangkaian kalimat yang menurutku sangat bermakna.
Mungkin “mencintai” bukan kata yang menggelembung. “Mencintai” berarti terpesona kepada yang-beda, menyentuh apa yang terbatas dalam diri sendiri pada saat bersua dengan yang lain, dan sadar bahwa bahasa tak bisa menangkap apa yang ada dalam diriku dan yang lain-lain itu. Dalam kalimat Auden, “Each language pours its vain, competitive excuse.”
“Mencintai” adalah sebuah laku sederhana.
Benar bukan? Aku setuju dengan GM, mencintai ada karena perbedaan, mulai dari beda dalam hal kecil sampai beda untuk suatu hal yang lebih besar. Sederhana saja, mengapa kamu mencintai pacarmu? Seseorang yang sebelumnya tidak kamu kenal dan ‘tiba-tiba’ hadir dalam hidupmu, menemani setiap langkahmu? Apakah kamu mencintainya begitu saja?
Kadang kita memang tidak tahu, apakah alasan kita mencintai seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya. Jika kamu menjawabnya karena kalian punya banyak persamaan, menurutku itu tidak sepenuhnya benar. Sebab di antara banyak persamaan itu, kalian tetaplah dua individu yang berbeda, dua pribadi yang berbeda. Sadar atau tidak, perbedaan itulah yang membuat kalian saling mendekat karena punya keinginan untuk saling melengkapi.
Perbedaan sifat dua individu saja kadang bisa menimbulkan konflik hebat. Sering pula menghabiskan banyak energi dan waktu untuk menghadapinya. Namun, bukan berarti bila kita sering bertengkar dengan pacar karena terlalu banyak perbedaan. Toh bila kamu sedang bersama dengan sahabat masa kecil, meskipun kamu menganggap kalian punya banyak persamaan, tetap saja kalian berbeda. Kemungkinan terjadi benturan selalu ada dalam sebuah hubungan dua insan. Kata seorang teman padaku, itulah sebuah relationship, pasti ada suka dan duka. Tantangannya, sejauh mana kita bisa menyesuaikan diri dengan segala perbedaan itu. Sikap toleransi pun menjadi penting dalam membina sebuah hubungan, entah hubungan cinta, persahabatan, keluarga, maupun rekan kerja.
Lalu apa kaitan hal itu dengan renungan 17 Agustus? Sama seperti yang diutarakan GM dalam akhir tulisannya, perbedaan adalah rumah Indonesia.
Mungkin itulah Indonesia, mungkin itulah takdirnya; tempat kita pulang, juga serangkaian rantau, sebuah tempat yang dijelang tapi juga rumah yang meriah dan rumit dalam kebhinekaan.
Ya, perbedaan yang ada dalam diri bangsa kita adalah sebuah takdir. Aku menyebutnya seperti ini:
Kita tak bisa memilih dilahirkan di mana, anak siapa, suku apa, atau bangsa apa. Kita hanya bisa memilih MAU atau TIDAK melakukan sesuatu untuk diri dan lingkungan kita.
Indonesia adalah darah kita, tempat kita berpijak di bumi. Kita tak akan pernah bisa mengingkari bahwa kita orang Indonesia. Mungkin kewarganegaraan bisa diubah, tetapi darah yang sudah mengalir dalam tubuh tidak. Budaya yang telah terinternalisasi dalam diri pun akan tetap melekat.
Akan tetapi, Indonesia yang kini tak sama dengan Indonesia yang 61 tahun lalu. Kebhinekaan yang ada nyaris tercerai berai, membuat kita semakin tak tentu arah. Pertikaian di sana-sini, pertumpahan darah melibatkan saudara-saudara kita sebangsa. Media menyebutnya ancaman disintegrasi bangsa Indonesia yang harus dituntaskan. Pastilah para pendiri bangsa itu menangisi kita, kita yang hampir terpecah-pecah, kita yang ingin semuanya serba sama, kita yang sulit menerima perbedaan, kita yang melihat diri atau kelompok kita lebih baik daripada orang lain, kita yang mudah menilai orang lain berdasar prasangka, kita yang lebih senang menyalahkan orang lain ketimbang introspeksi diri, dan kita yang hanya bisa terdiam melihat kejayaan masa lalu.
Pedih, aku sedih, melihat sedikit sekali orang yang masih memiliki kebanggaan terhadap bangsa dan negara ini. Sakit melihat semakin sedikitnya orang yang menaruh rasa percaya pada pemimpinnya. Kecewa karena orang banyak selalu menuntut ini itu, memprotes ini itu, mengkritik ini itu, tetapi mereka tidak memberikan solusi. Resah karena semakin sering menemui ketidakberdayaan kita menghadapi kemajemukan masyarakat, berbeda dianggap salah, minoritas tak mendapatkan tempat di masyarakat. Semua serba salah, orang jujur tidak dihargai, orang bungkam dianggap lebih baik, abstain menjadi pilihan. Begini salah begitu salah.
61 tahun merdeka pun tak menghasilkan apa-apa. Kedewasaan bangsa Indonesia belum tampak benar. Hal ini terlihat dari sulitnya kita menerima perbedaan, terlebih lagi bila perbedaan itu tampak mencolok dalam masyarakat, seperti agama, kepercayaan, dan suku. Belakangan perbedaan sikap pro-kontra terhadap suatu permasalahan pun bisa menjadi pemicu konflik. Bisa memunculkan kemarahan kelompok mayoritas terhadap kelompok tertentu yang dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai kelompoknya. Kelompok-kelompok itu menciptakan dinding pemisah dalam masyarakat, menimbulkan benturan, bukannya melakukan upaya guna menciptakan kerukunan hidup. Entah apa yang dipikirkan masing-masing kelompok sebab aku melihat kecenderungan setiap kelompok untuk mengedepankan kepentingan kelompoknya saja. Malah akhirnya hendak menerapkan aturan-aturan yang tidak jelas dasarnya, meskipun diklaim berdasarkan aturan agama. Padahal, jelas-jelas bangsa Indonesia tidak terdiri dari satu agama saja, mustahil menerapkan hukum berdasar agama mayoritas.
Lelah. Penat. Lalu menjadi apatis. Bukan, bukannya kami tak peduli terhadap kondisi bangsa ini. Namun, kami berpikir tak banyak yang bisa kami lakukan. Memang ada kawan-kawan mahasiswa yang memilih untuk melakukan demonstrasi dan terang-terangan menunjukkan sikap tertentu. Itu bukan pilihanku sebab aku, jujur saja, tidak menyukai demonstrasi. Aku juga mahasiswa, tetapi aku tidak menyukai demonstrasi. Sering berakhir anarkis. Kerap tidak jelas sasarannya, kepada siapa menuntut ini itu, kepada pihak mana kemarahan itu ditujukan. Apa iya benar bila berdemo anti Israel sambil membakar ban di jalan dan melakukan razia atau sweeping terhadap warga asing yang dianggap pro Israel-AS? Sulit, aku sulit mempercayai demonstrasi mahasiswa.
Sebagian dari generasi muda bangsa ini lebih memilih cara masing-masing untuk menunjukkan kami peduli. Pun aku. Lihat saja, masih ada remaja-remaja berprestasi yang mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Ada pula kawan-kawan yang menjadi relawan bencana atau mengajar anak-anak yang putus sekolah. Itu cara mereka untuk peduli dengan bangsa Indonesia.
Aksi ini mungkin tak terekam oleh kamera-kamera televisi, pun tak tersiarkan ke seluruh negeri. Namun, kami tetap peduli. Peduli pada bangsa yang besar ini, peduli akan segala perbedaan yang menjadikan Indonesia sangat kaya. Peduli pada keberlangsungan hidup rakyat Indonesia. Kami peduli dengan cara yang berbeda-beda. Hati kami, pun hatiku, tetap selalu untuk Indonesia.
61 tahun, ibarat perjalanan hidup seorang manusia, maka ia sudah memasuki fase kematangan, mencapai integritas diri, arif, dan berwibawa. Ia bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi anak cucunya, sehingga selalu menjadi tempat berbagi cerita susah dan senang, selalu menjadi tempat meminta nasehat.
Negara ini belumlah demikian. Kemapanan belumlah tercapai. Proses yang begitu lama untuk mencapai kemakmuran itu. Namun, kita tak boleh berhenti menabur asa. Berikan saja kepercayaan dan dukungan kita pada pemimpin, berikan saja kritikan-kritikan yang membangun, berikan saja cinta kita pada pemimpin, berikan saja tempat bagi pemimpin untuk mulai bekerja. Hilangkan dulu prasangka. Dewasakan diri kita untuk mau berbaur dalam kemajemukan Indonesia, bukalah mata dan hati untuk melihat dan mendengar sendiri betapa kayanya negeri ini. Cintailah Indonesiamu, Indonesiaku, Indonesia kita!
Selamat ulang tahun, Indonesia!
…no one exists alone;
Hunger allows no choice
To the citizen or the police
We must love one another or die.
Lalu GM menambahkan serangkaian kalimat yang menurutku sangat bermakna.
Mungkin “mencintai” bukan kata yang menggelembung. “Mencintai” berarti terpesona kepada yang-beda, menyentuh apa yang terbatas dalam diri sendiri pada saat bersua dengan yang lain, dan sadar bahwa bahasa tak bisa menangkap apa yang ada dalam diriku dan yang lain-lain itu. Dalam kalimat Auden, “Each language pours its vain, competitive excuse.”
“Mencintai” adalah sebuah laku sederhana.
Benar bukan? Aku setuju dengan GM, mencintai ada karena perbedaan, mulai dari beda dalam hal kecil sampai beda untuk suatu hal yang lebih besar. Sederhana saja, mengapa kamu mencintai pacarmu? Seseorang yang sebelumnya tidak kamu kenal dan ‘tiba-tiba’ hadir dalam hidupmu, menemani setiap langkahmu? Apakah kamu mencintainya begitu saja?
Kadang kita memang tidak tahu, apakah alasan kita mencintai seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya. Jika kamu menjawabnya karena kalian punya banyak persamaan, menurutku itu tidak sepenuhnya benar. Sebab di antara banyak persamaan itu, kalian tetaplah dua individu yang berbeda, dua pribadi yang berbeda. Sadar atau tidak, perbedaan itulah yang membuat kalian saling mendekat karena punya keinginan untuk saling melengkapi.
Perbedaan sifat dua individu saja kadang bisa menimbulkan konflik hebat. Sering pula menghabiskan banyak energi dan waktu untuk menghadapinya. Namun, bukan berarti bila kita sering bertengkar dengan pacar karena terlalu banyak perbedaan. Toh bila kamu sedang bersama dengan sahabat masa kecil, meskipun kamu menganggap kalian punya banyak persamaan, tetap saja kalian berbeda. Kemungkinan terjadi benturan selalu ada dalam sebuah hubungan dua insan. Kata seorang teman padaku, itulah sebuah relationship, pasti ada suka dan duka. Tantangannya, sejauh mana kita bisa menyesuaikan diri dengan segala perbedaan itu. Sikap toleransi pun menjadi penting dalam membina sebuah hubungan, entah hubungan cinta, persahabatan, keluarga, maupun rekan kerja.
Lalu apa kaitan hal itu dengan renungan 17 Agustus? Sama seperti yang diutarakan GM dalam akhir tulisannya, perbedaan adalah rumah Indonesia.
Mungkin itulah Indonesia, mungkin itulah takdirnya; tempat kita pulang, juga serangkaian rantau, sebuah tempat yang dijelang tapi juga rumah yang meriah dan rumit dalam kebhinekaan.
Ya, perbedaan yang ada dalam diri bangsa kita adalah sebuah takdir. Aku menyebutnya seperti ini:
Kita tak bisa memilih dilahirkan di mana, anak siapa, suku apa, atau bangsa apa. Kita hanya bisa memilih MAU atau TIDAK melakukan sesuatu untuk diri dan lingkungan kita.
Indonesia adalah darah kita, tempat kita berpijak di bumi. Kita tak akan pernah bisa mengingkari bahwa kita orang Indonesia. Mungkin kewarganegaraan bisa diubah, tetapi darah yang sudah mengalir dalam tubuh tidak. Budaya yang telah terinternalisasi dalam diri pun akan tetap melekat.
Akan tetapi, Indonesia yang kini tak sama dengan Indonesia yang 61 tahun lalu. Kebhinekaan yang ada nyaris tercerai berai, membuat kita semakin tak tentu arah. Pertikaian di sana-sini, pertumpahan darah melibatkan saudara-saudara kita sebangsa. Media menyebutnya ancaman disintegrasi bangsa Indonesia yang harus dituntaskan. Pastilah para pendiri bangsa itu menangisi kita, kita yang hampir terpecah-pecah, kita yang ingin semuanya serba sama, kita yang sulit menerima perbedaan, kita yang melihat diri atau kelompok kita lebih baik daripada orang lain, kita yang mudah menilai orang lain berdasar prasangka, kita yang lebih senang menyalahkan orang lain ketimbang introspeksi diri, dan kita yang hanya bisa terdiam melihat kejayaan masa lalu.
Pedih, aku sedih, melihat sedikit sekali orang yang masih memiliki kebanggaan terhadap bangsa dan negara ini. Sakit melihat semakin sedikitnya orang yang menaruh rasa percaya pada pemimpinnya. Kecewa karena orang banyak selalu menuntut ini itu, memprotes ini itu, mengkritik ini itu, tetapi mereka tidak memberikan solusi. Resah karena semakin sering menemui ketidakberdayaan kita menghadapi kemajemukan masyarakat, berbeda dianggap salah, minoritas tak mendapatkan tempat di masyarakat. Semua serba salah, orang jujur tidak dihargai, orang bungkam dianggap lebih baik, abstain menjadi pilihan. Begini salah begitu salah.
61 tahun merdeka pun tak menghasilkan apa-apa. Kedewasaan bangsa Indonesia belum tampak benar. Hal ini terlihat dari sulitnya kita menerima perbedaan, terlebih lagi bila perbedaan itu tampak mencolok dalam masyarakat, seperti agama, kepercayaan, dan suku. Belakangan perbedaan sikap pro-kontra terhadap suatu permasalahan pun bisa menjadi pemicu konflik. Bisa memunculkan kemarahan kelompok mayoritas terhadap kelompok tertentu yang dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai kelompoknya. Kelompok-kelompok itu menciptakan dinding pemisah dalam masyarakat, menimbulkan benturan, bukannya melakukan upaya guna menciptakan kerukunan hidup. Entah apa yang dipikirkan masing-masing kelompok sebab aku melihat kecenderungan setiap kelompok untuk mengedepankan kepentingan kelompoknya saja. Malah akhirnya hendak menerapkan aturan-aturan yang tidak jelas dasarnya, meskipun diklaim berdasarkan aturan agama. Padahal, jelas-jelas bangsa Indonesia tidak terdiri dari satu agama saja, mustahil menerapkan hukum berdasar agama mayoritas.
Lelah. Penat. Lalu menjadi apatis. Bukan, bukannya kami tak peduli terhadap kondisi bangsa ini. Namun, kami berpikir tak banyak yang bisa kami lakukan. Memang ada kawan-kawan mahasiswa yang memilih untuk melakukan demonstrasi dan terang-terangan menunjukkan sikap tertentu. Itu bukan pilihanku sebab aku, jujur saja, tidak menyukai demonstrasi. Aku juga mahasiswa, tetapi aku tidak menyukai demonstrasi. Sering berakhir anarkis. Kerap tidak jelas sasarannya, kepada siapa menuntut ini itu, kepada pihak mana kemarahan itu ditujukan. Apa iya benar bila berdemo anti Israel sambil membakar ban di jalan dan melakukan razia atau sweeping terhadap warga asing yang dianggap pro Israel-AS? Sulit, aku sulit mempercayai demonstrasi mahasiswa.
Sebagian dari generasi muda bangsa ini lebih memilih cara masing-masing untuk menunjukkan kami peduli. Pun aku. Lihat saja, masih ada remaja-remaja berprestasi yang mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Ada pula kawan-kawan yang menjadi relawan bencana atau mengajar anak-anak yang putus sekolah. Itu cara mereka untuk peduli dengan bangsa Indonesia.
Aksi ini mungkin tak terekam oleh kamera-kamera televisi, pun tak tersiarkan ke seluruh negeri. Namun, kami tetap peduli. Peduli pada bangsa yang besar ini, peduli akan segala perbedaan yang menjadikan Indonesia sangat kaya. Peduli pada keberlangsungan hidup rakyat Indonesia. Kami peduli dengan cara yang berbeda-beda. Hati kami, pun hatiku, tetap selalu untuk Indonesia.
61 tahun, ibarat perjalanan hidup seorang manusia, maka ia sudah memasuki fase kematangan, mencapai integritas diri, arif, dan berwibawa. Ia bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi anak cucunya, sehingga selalu menjadi tempat berbagi cerita susah dan senang, selalu menjadi tempat meminta nasehat.
Negara ini belumlah demikian. Kemapanan belumlah tercapai. Proses yang begitu lama untuk mencapai kemakmuran itu. Namun, kita tak boleh berhenti menabur asa. Berikan saja kepercayaan dan dukungan kita pada pemimpin, berikan saja kritikan-kritikan yang membangun, berikan saja cinta kita pada pemimpin, berikan saja tempat bagi pemimpin untuk mulai bekerja. Hilangkan dulu prasangka. Dewasakan diri kita untuk mau berbaur dalam kemajemukan Indonesia, bukalah mata dan hati untuk melihat dan mendengar sendiri betapa kayanya negeri ini. Cintailah Indonesiamu, Indonesiaku, Indonesia kita!
Selamat ulang tahun, Indonesia!
No comments: