Wednesday, December 17, 2014

Sebuah Catatan Diri tentang Tumbuh Kembang Rasya


Ini bukan catatan perkembangan Rasya.
Ini adalah perenungan saya sebagai seorang ibu, yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di jurusan psikologi.

Sejak kuliah saya memang tertarik dengan isu-isu pendidikan dan perkembangan. Saya merasa di situlah passion saya. Dulu banyak sekali teori perkembangan yang saya lahap, bahkan saya punya satu buah buku teks psikologi perkembangan asli dan berbahasa Inggris. Saya tahu teori A, B, C, dan seterusnya, tetapi setelah menikah dan punya anak, mendadak teori itu menguap.

Nggak butuh teori untuk menjadi ibu, walaupun saya membaca banyak buku bagaimana merawat bayi saat hamil. Saya juga membaca bagaimana cara menyusui yang baik dan benar, tapi saat menyusui langsung saya lupa apa saja yang terbaca. Saya tahu teorinya, tetapi saat (ujian) praktek, mendadak hilang semua hapalannya :p

Saya hanya punya insting dan naluri saya sebagai seorang ibu, berikut perasaan ingin melindungi, menjaga, dan merawat makhluk mungil hadiah dari Tuhan ini, yang jumlahnya unlimited, tak terbatas. Kadang insting dan naluri itu juga yang 'menjebak' saya dalam sederet kekhawatiran tentang tantangan tumbuh kembang Rasya. Belum lagi rentetan pertanyaan dari orang-orang di sekitar yang turut khawatir pada perkembangan Rasya, saya pun makin khawatir. Seperti yang saya cemaskan soal kapan ia berjalan, alergi, disapih, potty training, sampai berbicara.

Pada akhirnya, saya menjalani saja semua kekhawatiran itu. Walaupun saya sangat khawatir, beruntung suami saya tipe orang yang santai, tidak terburu-buru menilai sesuatu, dan terus mengajak saya memandang tantangan itu dari berbagai perspektif. Itu pedoman kami dalam menghadapi tantangan tumbuh kembang Rasya. Kami percaya bahwa Rasya punya timeline-nya sendiri untuk menyelesaikan tugas perkembangannya. So, meski saya sering khawatir berlebihan, kekhawatiran itu hanya sebatas ucapan saja. Seperti saat Rasya belum lancar bicara hingga usia 2 tahun 4 bulan. Saya sudah ancang-ancang pergi ke dokter spesialis tumbuh kembang, tapi nggak jadi lantaran pas pindah ke Jakarta dan sekolah, tahu-tahu bicaranya sudah lancar.

Kalau duluuuu saat Rasya masih bayi saya rajin banget isi development charts, sekarang Alhamdulillah cukup dipantau saja. Untungnya Rasya sudah bersekolah, sehingga saya jadi tahu bagaimana perkembangan teman-teman seusianya. Bukan mencari pembanding, tapi untuk tahu apakah Rasya berada pada jalur yang tepat atau melihat lagi keterampilan apa yang perlu dibangun dalam dirinya.
There's one basic rule you should remember about development charts that will save you countless hours of worry. The fact that a child passes through a particular developmental stage is always more important than the age of that child when he or she does it. In the long run, it really doesn't matter whether you learn to walk at ten months or fifteen months—as long as you learn how to walk.
- Lawrence Kutner, child psychologist
Khawatir berlebihan terhadap apapun itu tak selamanya baik, apalagi sampai merespon dengan reaktif. Begitu pula jika bicara tentang tantangan yang muncul dalam masa tumbuh kembang anak. Hal terpenting adalah kenyataan bahwa anak dapat menyelesaikan tugas perkembangannya atau lulus pada setiap tahap perkembangannya, bukan soal kapan atau umur berapa ia mencapainya. Ya itu tadi, anak punya timeline sendiri yang pasti berbeda dengan anak lainnya, bahkan saudara kembarnya sekalipun. Kecenderungan kita untuk membandingkan anak itulah yang sebetulnya bikin kita khawatir tingkat tinggi 'kan? Kalau sudah begitu, saya sering mengingatkan diri sendiri, bikin self-reminder untuk tidak membandingkan pencapaian anak saya dengan anak lain, dan sebaliknya.

Hal terakhir itu yang mendorong saya menuliskan pemikiran ini, as a self-reminder for me. Perjalanan Rasya masih panjang, ia masih akan melewati banyak fase perkembangan yang akan lebih menantang dari saat ini. Daripada bingung kenapa anak belum bisa ini itu, lebih baik berpikir sebaliknya: apa yang sudah bisa ia lakukan, apa yang sudah ia capai? Supaya rasa khawatir itu berkurang, tapi tetap berusaha mencari tahu atau memberi stimulus untuk merangsang keterampilan tersebut. 

Inginnya sih, sikap ini terus terbawa sampai Rasya dewasa kelak (juga adik-adiknya nanti). Mudah-mudahan bisa! :)


Saturday, November 22, 2014

Kata Rasya (3): Sejuta Alasan

Salah satu konsekuensi yang harus saya dapatkan ketika memilih untuk bekerja adalah melewatkan beragam celoteh Rasya sejak ia bangun tidur di pagi hingga sore hari. Beruntung saya masih bisa mendengarnya lewat cerita orang rumah, yang kadang membuahkan tawa geli. Namun, bagi saya, lebih beruntung lagi karena Rasya tetap mau berbagi celotehnya pada saya.

Sudah sebulan ini ia semakin pintar berbicara, bahkan bercerita panjang lebar dengan sedikit panduan pertanyaan. Belum lagi selalu ada saja alasan yang dibuatnya untuk menjawab kalimat yang dilontarkan orang dewasa di sekitarnya. Jawaban dan alasan yang dibuatnya, kok bisa selalu masuk akal. Saya jadi geli mendengar Rasya berbicara dengan logika sederhana yang mulai ia kuasai dengan baik. Kenapa? Karena saya tidak pernah berpikir akan mendengar alasan itu dari bocah kecil yang usianya hampir 3 tahun.

Cerita Satu
Uti Rasya pamit padanya karena mau berangkat mengajar piano.
Uti     : Rasya, Uti berangkat ngajar piano dulu ya. Rasya di rumah sama Nin.
Rasya : Nggak. Nin aja yang ngajar pineno (piano), Uti di rumah aja sama Caca.

Sudah bisa bolak-balik logika! 

Cerita Dua
Rasya disuruh mandi sore oleh Atung.
Atung : Rasya, mandi yuk, udah sore nih!
Rasya : Nggak mau mandi, aku udah wangi, Atung!

Sepertinya dia tahu bahwa mandi atau nggak mandi, Mama tetap suka bau asyemnya dan buat dia itu 'wangi' :p

Cerita Tiga
Rasya sedang memohon pada Ayah supaya dibukakan pocky, cemilan favoritnya.
Rasya  : Ayah, bukain pocky!
Ayah   : Nggak mau, Rasya belum makan malam. Makan dulu baru boleh makan pocky.
Rasya  : Bukain pocky! Bukain!
Ayah   : Pocky-nya nggak ada (ambil pocky dan plastik isi cemilan Rasya)
Rasya  : ..... ya beliin lagi aja!
Ayah   : Nggak
Rasya  : (menunduk sambil menghela nafas)

Jawaban cerdas! Kalau pocky nggak ada, ya minta beliin lagi aja. Saya cuma ketawa cekikikan ngeliat dialog ini berlangsung. 

Cerita Empat
Ini dapat laporan dari Ayah Rasya, saya tulis alasannya saja ya. Suatu pagi di hari Senin, kebetulan suami lagi di rumah dan sedang berusaha membujuk Rasya untuk sekolah. Tapi Rasya nggak mau sekolah, alasannya banyak banget:
  • mau sama Ayah aja! (pasti Ayahnya senang banget dijawab begini, tapi kan tetep harus sekolah)
  • mau minum susu!
  • nonton Masha aja!
  • mau bobo lagi!
  • mau makan buah! 
Makin lama alasannya makin nggak jelas, tapi ya begitulah, show must go on. Akhirnya Rasya pun pergi sekolah meski ia marah-marah. Toh di sekolah pun dia tetap senang bermain dan lupa dengan marah-marahnya tadi :p

Cerita Lima
Weekend adalah waktu spesial bagi kami bertiga. Kami harus menyempatkan diri untuk berkumpul dan pergi bersama. Suatu siang di mall, Rasya asyik main di Fun World. Dia suka banget segala macam permainan pemadam kebakaran dan mobil-mobilan. Karena sudah lama main, kami memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Ya sesuai dugaan, reaksi Rasya adalah tidak mau pindah, masih mau main. Ia pun rewel setelah keluar dari Fun World, apalagi begitu kami ajak makan. 
Rasya  : Nggak mau makan, mau main ajaaaaa (sambil merengek)
Ayah    : Kan Rasya harus makan dulu. Atau Rasya sini aja sama Ayah, bobo? Bobo koala? (sambil peluk Rasya)
Rasya   :  Nggak mau bobo koalaaaaaa (tapi pas kepalanya direbahkan di dada Ayah, dia nurut eh...nggak lama tidur pulas)

Kata suami, kalau Rasya sudah memberi alasan aneh-aneh atas sesuatu hal, sebetulnya ia sudah mengantuk. Tinggal peluk dan usap-usap, ia pasti tidur :)

Kayaknya sih masih banyak lagi alasan yang sering dikumandangkan Rasya. Kadang saat melihat dia berceloteh panjang lebar, saya sangaaaaaattt berterima kasih pada Allah SWT karena sudah melahirkannya. Melihatnya tumbuh besar adalah kenikmatan paling yang saya syukuri saat ini!



Tuesday, November 04, 2014

Ke Mana Bayi Kecil Itu?

Ke mana ya, bayi kecil yang dulu selalu membutuhkan bantuan untuk melakukan banyak hal?
Ke mana ya, bayi kecil yang dulu hanya bisa tidur tenang setelah disusui?
Ke mana ya, bayi kecil yang dulu hanya bisa menangis kala ingin sesuatu?

Bayi kecil itu sudah tumbuh besar!

Lihat saja kakinya, sudah bisa pakai ukuran 23
dan bisa mengayuh sepeda dengan cepat, walau kadang jalannya sepeda miring-miring
Baju bayinya jelas nggak muat lagi
Celana piyamanya sudah nyingkrang semua
Lengan bajunya seolah memendek mendekati bahu
Rasanya perlu beli pakaian baru beberapa bulan sekali (asyik! alasan untuk belanja lagi!)

Enam bulan lalu pun ia belum pandai berbicara
Kini bicaranya sudah paaaaaannnnnjjjjjaaaaaannnngggg
Bukan cuma merangkai kata menjadi satu kalimat panjang,
tapi juga berceloteh, bercerita tentang apa yang dilakukannya di sekolah, atau buku kesukaannya
Juga menjawab semua kalimat Ayah Mama dengan jawaban yang masuk akal
Membolak-balik logika
Bahkan mengklaim 'ini punyaku!'

Tapi, ia tetap bayi kecil Mama

Sampai sebesar apapun ia tetap bayi kecil Mama
yang selalu Mama peluk setiap malam
yang senang ndesel ndesel di pelukan Mama
yang senang nangkring di atas perut, 'mau tidur koala,' begitu katanya
yang menangis sedih kalau dilarang Mama, tapi tetap mau peluk Mama walau (mungkin) kesal ke Mama

Anak lanang,
Mama menunggu lebih banyak kejutan kecil yang akan kamu berikan bertahun-tahun ke depan!
Tapi, kamu tetap bayi kecil Mama

sampai kapanpun :*

Monday, October 13, 2014

Kata Rasya (2): Panas-Dingin

Saya sering bingung, kok anak seusia Rasya sudah punya pemahaman sendiri mengenai berbagai hal. Padahal, tak semua yang ia pahami itu diajarkan oleh saya, suami, atau orang-orang yang ada di rumah. Tahu tahu ia datang dengan sejumlah pemahaman baru yang membuat saya geli atau terpana.

Ini terjadi beberapa minggu lalu. Jarum jam sudah beranjak dari angka 8 malam. Teorinya sih, Rasya sudah mengantuk, tapi kenyataannya belum. Rupanya ia lapar, dan bergegas ke meja makan, duduk di kursi yang biasa ditempati Atung-nya. Ia lalu mengambil sepiring mie goreng yang sengaja dibeli oleh Uti-nya. Rasya menyentuh mie goreng itu.
'Rasya mau mie goreng?'
'Mie dingin, panas(in),' kata Rasya sambil mendorong mie itu menjauh darinya.
'Lho, nggak apa-apa, kan tetap enak mie-nya. Rasya makan mie goreng ya?' Jawab saya sambil mengambil piring itu lagi.
Rasya memegang lagi mie-nya dan mendorong lagi piring itu.
'Nggak, mie panas(in). Panas(in)!' begitu respon Rasya sambil setengah merengek. Akhirnya, mie itu pun dipanaskan, baru deh ia mau makan lahap sampai habis.

Lain waktu, Rasya saya suguhi susu UHT yang sengaja saya hangatkan. Ketika saya berikan padanya, serta merta ia menolak keras sambil bilang, 'Mau mooo dingin! Mooo dingin!' Saya pun memasukkan susu itu ke lemari es beberapa saat, bahkan saya tambahkan susu dingin supaya terasa 'dingin'. 

Rupanya, dalam pemahaman Rasya, susu UHT itu paling enak diminum dingin. Untung kalau saya berikan susu kotak yang tidak dingin dia nggak masalah. Dia cuma nggak mau minum susu UHT hangat saja, sementara susu bubuk yang diseduh air panas ia tetap mau minum sampai habis.

Inilah serunya jadi orang tua, mengamati anak belajar dan memahami banyak hal. Perasaannya campur aduk, geli, bingung, kagum, dan pastinya, bangga luar biasa :)

Friday, October 10, 2014

Kata Rasya (1): Uis!

Satu hal yang saya kagum dari Rasya adalah ia sangat cepat menyerap segala informasi yang pernah ia lihat, dengar, dan rasakan. Bahkan, beberapa saat setelah informasi itu ia 'pelajari' ia langsung bisa menirunya, contoh tarian atau gerakan kungfu shaolin yang pernah ia tonton atraksinya beberapa waktu lalu. 

Bagaimana dengan segala sesuatu yang ia lihat sehari-hari? Ini salah satu contohnya.

Suatu malam, saat saya dan Kiky, adik saya sedang santai di kamar, Rasya tiba-tiba mengambil payung kecil dan menggulungnya beberapa kali.
Saya
:
Rasya lagi gulung apa?
Rasya
:
Gulung gulung uis
Kiky
:
Uis? Risoles, coba bilang risoles
Rasya
:
Risowes! Uis!
Saya
:
Emang risolesnya isi apa, Sya?
Rasya
:
Isi ragut ayam, ragut papi! Ragut ayam, ragut papi!
(Ragout ayam & ragout sapi maksudnya)
Saya & Kiky
:
Wuaahaahahahahaha :'D
(ketawa geli sampai sakit perut--> nggak berharap kata 'ragut'
keluar dari mulut Rasya soalnya)
Saya
:
Ada isi Bolognese juga?
Rasya
:
Bonenes! Bonenes!
Kiky
:
(lapor ke Juragan Risoles) Maaa, ini cucunya tahu
Uti sering gulung risoles, sampai tahu ada isi
ragout ayam dan ragout sapi

Nah lho! Next time kalau Uti Rasya jualan risoles, sepertinya Rasya bisa bantu jadi pemasar cilik. Soalnya, dia pun tahu Risoles Risolkoe punya berbagai rasa hehehe :D

Rasya dan risoles favoritnya, rasa bolognese

































Wednesday, October 01, 2014

Catatan Rasya (28): Sekolah Kedua

Emm....sebetulnya cerita ini sudah terlalu lama ditunda. Tapi cerita hari pertama anak bersekolah itu pasti selalu dikenang setiap orang tua, terutama ibu. Soalnya, hari pertama sekolah adalah hari spesial! Bersekolah berarti anak siap-siap masuk ke lingkungan baru, yang lebih luas daripada keluarga dan rumah. Bersekolah berarti anak akan belajar banyak hal. Bukan cuma sekedar duduk manis belajar mewarnai atau menempel, tapi belajar bagaimana berinteraksi dengan teman sebaya, mengantri, berdoa, bermain bersama, dan hormat pada guru.

Hari pertama sekolah
Masuk PAUD
Rasya masuk PAUD di dekat rumah tepat pada usia 2,5 tahun. Mungkin bagi orang lain usia itu masih terlalu muda. Namun, saya dan suami sepakat menyekolahkan Rasya agar ia belajar bersosialisasi dengan teman sebaya dan merangsang perkembangan bahasanya. Di rumah orang tua saya, ia satu-satunya anak kecil yang otomatis dapat perhatian dari seisi rumah. Begitu pula di keluarga suami. Saya khawatir karena semua orang memanjakan Rasya, ia akan terbiasa diladeni, keinginannya dituruti. 

Nah, bersekolah sedikit banyak bisa menyeimbangkan hal itu. Di sekolah Rasya harus mau berbagi, bermain bergantian, dan mengikuti peraturan yang ada. Meski dia paling muda usianya di sekolah, bukan berarti semua orang boleh mengalah padanya. Ada kalanya Rasya harus mengalah karena temannya sudah lebih dulu duduk di kursi merah favoritnya. Ada saatnya juga Rasya harus berbagi duduk di pangkuan Ibu Guru bersama teman lainnya. Ia juga harus antri bermain perosotan dan mau sama-sama bermain ayunan dengan teman-temannya.

Beruntung saya sempat menemani Rasya sekolah selama 1 bulan, sebelum saya mulai bekerja. Biasalah, kalau diantar Mama pasti selalu ada drama, termasuk nggak mau mandi, marah-marah saat pakai baju, nggak mau baris, sampai saya ikut masuk kelas. Namun, lambat laun ia lebih mandiri dan mau mengikuti arahan gurunya. 

Pas awal-awal masuk, Rasya lebih sering 'dimaklumi' oleh gurunya karena dianggap anak bawang. Jadi, nggak apa-apa dia nggak mau baris, nggak apa-apa dia nggak mau duduk manis, dll. Malah saya yang merasa nggak enak! Alhamdulillah akhir-akhir ini ia lebih mudah diajak kerjasama, jadi bisa ikutan seluruh kegiatan di kelas. Salah satu kegiatan favoritnya adalah berbaris seperti kereta api untuk cuci tangan :)

Seragam
Bicara tentang seragam sekolah, saat awal sekolah saya sering sounding pada Rasya soal seragam apa yang dipakai selama tiga hari sekolah. Ini perlu saya lakukan, sebab ia sangat suka pakai celana jeans! Pergi keluar rumah = pakai celana jeans, ini yang tertanam dalam benaknya. Waktu itu saya mati-matian membujuknya untuk pakai seragam, sehingga selalu ada drama nggak mau pakai seragam. 

Maka, setiap pulang sekolah, saya selalu bilang pada Rasya, 'Rasya, nanti hari X ke sekolah pakai seragam A ya.' Begitu terus selama dua hari sampai besok sekolah. Dua minggu lebih saya 'sosialisasi' seragam ke Rasya, kini ia tahu dan hapal hari ini pakai seragam apa. Malam sebelum sekolah pasti saya tanya lagi, besok pakai seragam apa dan dijawab tepat olehnya, sehingga potensi drama pagi hari pun berkurang :D

Perkembangan Bahasa
Usia 2,5 - 3 tahun adalah saat yang tepat untuk 'membentuk' identitas diri anak. Ketika anak sudah lancar bicara, ia bisa diperkenalkan pada identitas yang menempel pada dirinya. Saya ingat pesan dari kolega guru dulu, anak bisa diajari soal nama, sekolah, dan nama orang tuanya. Peran keluarga saya dan suami juga sangat membantu Rasya dalam mengenali identitas dirinya. 
Bangga sekali saat ia bisa menyebut nama, umur, sekolah di mana, dan anak Ayah - Mama, plus menyebut nama Ayah dan Mama. Ia juga tahu ada beberapa kota penting yang pernah dan sedang ia tinggali. Menyebut nama anggota keluarga besar pun ia senang, sehingga bikin om tante dan eyang-eyangnya berlomba mengajari Rasya untuk memanggil nama mereka. 

Saat ini ia sedang berusaha merangkai kata ke dalam satu kalimat. Jumlah kosakatanya juga meningkat pesat dan ia mulai pandai membeo alias menirukan kata-kata yang baru saja diucapkan orang lain. Saya pun senang menelpon Rasya saat ia di rumah karena ia sudah bisa diajak bicara lewat telepon. Di sekolah pun ia sering menirukan apa yang dibicarakan teman atau gurunya.

--
Jadi, pindah ke kota, tinggal bersama keluarga besar, dan bersekolah sangat membantu tumbuh kembang Rasya. Sejauh ini, saya tetap percaya sekolah mampu membantu Rasya belajar lebih mandiri dan membentuk beragam keterampilannya. Keputusan menyekolahkan Rasya pun terasa tepat dan pas timing-nya. PAUD ibarat sekolah kedua bagi Rasya.

Tentu saja kami sebagai orang tua akan 'mempertajam' keterampilan itu di rumah, artinya ya tidak semata menyerahkannya pada sekolah. Bagaimanapun, sekolah pertama anak adalah rumah, guru pertama anak adalah orang tua. Anak selalu belajar dari apa yang ia lihat, dengar, rasakan, dan alami, karena itulah anak tahu dan kenal banyak hal pertama kali dari kita, orang tuanya :)

Thursday, September 11, 2014

Rutinitas Baru


Halo! Saking sibuknya menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja baru, saya baru sekarang cerita-cerita lagi di sini. Padahal, saya masih punya banyak utang cerita ya (sambil berusaha ingat-ingat apa aja yang mau diceritain).

Iya, sejak awal bulan ini saya sudah bekerja kembali, kali ini di sebuah sekolah tinggi. Tempat kerjanya dekat dari rumah, 30 menit perjalanan saja. Walau hari-hari pertama agak berat meninggalkan Rasya di rumah, tapi lambat laun terbiasa juga. Rasya sih nggak pernah kesepian di rumah, selalu ada Uti, Nin, Bibi, dan Om Tante yang siap menemani. Jadi, momen yang paling ditunggu setiap hari adalah pulang kerja dan langsung disambut teriakan Rasya, 'Mamaaaaaaa!'

Rutinitas weekend juga selalu saya tunggu, yaitu bertemu suami! Ya, kami sepakat untuk sementara waktu 'pisah rumah' demi kemudahan menjalankan aktivitas masing-masing. Judulnya, suami istri Sabtu-Minggu, hehehe. Meski kangen, tapi saya harus mengakui, bertemu hanya weekend itu memberikan sensasi berbeda dalam hubungan kami. Lebih kangen, lebih sayang, dan lebih suka menghabiskan waktu berdua atau bertiga saja. Minggu lalu, kami pergi bertiga naik commuter line ke Bogor. Itu saja jadi pengalaman menyenangkan buat saya dan Rasya. Selama di Bogor, saya juga kencan terus hahaha. Pokoknya, saya dan suami seperti pacaran lagi deh, ketemu seminggu sekali, pas ketemu maunya deket-deketan (eh apa saya aja ya yang manja?), sambil kruntelan sama Rasya. Senang!

Rutinitas baru keluarga kecil kami ini memang melibatkan banyak pihak, mengingat saya dan suami tinggal di rumah orang tua masing-masing. Walau bagi beberapa orang keputusan kami ini terlihat aneh, tapi saat ini kami merasa keputusan itulah yang terbaik, sambil menunggu saya dan suami mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Alhamdulillah Rasya juga suka bersekolah, sehingga ia tetap semangat datang sekolah, meski yaaa tetap ada drama-drama kecil sih. Namanya juga anak-anak. Pendek kata, rutinitas baru ini menarik untuk dijalani, plus tetap berusaha menemukan pola yang sesuai untuk kenyamanan keluarga kami di ibu kota.

Doakan kami ya! :)




Thursday, August 28, 2014

Pulang ke Jogja

Sebagai orang yang kenyang menclok sana sini, kembali ke lingkungan yang dulu dikenal adalah kenikmatan tak terhingga. Terlebih lagi jika tempat itu bernama Jogjakarta. Saya yakin, siapapun yang pernah tinggal di Jogja, pasti selalu kangen untuk kembali. Katon, Lilo, dan Adi nggak bohong, suasana Jogja itu begitu melekat.
Betul sekali, Pak Anies! (dari sini)
Jogja bukan cuma penting bagi saya, tetapi bagi keluarga kecil saya. Di situlah saya dan suami bertemu. Makanya, Jogja selalu punya tempat di hati saya. Perjalanan kali ini boleh dibilang merupakan impian yang terwujud. Sejak menikah, saya belum pulang ke Jogja, suami sih lebih sering. Baru kali ini kesampaian pulang bertiga ke sana. Kami ingin berbagi kenangan dengan Rasya, ke mana dulu kami sering kencan, kampus tempat bersua, hingga keramaian kota.

Napak tilas, menelusuri lagi jejak-jejak kami dulu. Nostalgia perut, menikmati semua kuliner yang biasa kami makan dulu. Berkunjung ke rumah kedua di Jogja, kampus tercinta. Di sisi lain, saya juga ingin memberikan Rasya petualangan kecil. Dari rumah mertua di Bogor, kami berangkat dengan commuter line, turun di Gondangdia, disambung bajaj, naik kereta Bima dari Gambir. Di Jogja Rasya sempat naik bis dan andong alias delman. Petualangan kecil Rasya ditutup dengan naik pesawat kembali ke Jakarta.

Alhamdulillah semuanya berjalan lancar dan Rasya luar biasa senang menikmati beragam pengalaman baru. Saya dan suami juga sama-sama happy karena sempat mewujudkan beberapa rencana bertemu teman-teman. Reunited, and it feels so good! Tapi jujur nih, empat hari di Jogja kurang lama. Inginnya mah seminggu supaya bisa jalan-jalan ke pantai. Eh kalau seminggu pasti juga kurang ya? Akhirnya sih semua tergantung pada dompet. Jika sudah semakin tipis, maka itu tanda untuk kembali ke Jakarta dan menabung lagi supaya bisa liburan lagi! :D

Begitulah, liburan pasti harus berakhir. Sekarang saatnya saya dan suami memulai aktivitas baru di bulan September, sementara Rasya kembali bersekolah. 

Mudah-mudahan bisa ke Jogja dan reuni dengan lebih banyak teman. Bagi saya, banyak hal dari Jogja yang bikin kangen. Itulah kenapa setiap ke Jogja selalu terasa pulang ke rumah.




Sunday, August 17, 2014

Merdeka!

Pagi ini saya membaca sebuah posting seorang teman di timeline media sosial. Tertulis begini, "Independence can start early at home." Lalu ia berbagi tautan dari halaman Maria Montessori, tentang pekerjaan rumah tangga apa saja yang bisa dilakukan anak di rumah. Ya, bahkan anak usia 2 - 3 tahun pun bisa ikut melakukan pekerjaan rumah tangga. 
Semua pekerjaan rumah tangga kadang terlihat sederhana, tetapi masih ada orang yang tak terbiasa melakukannya. Ada banyak contoh hal itu di sekeliling saya. Apalagi tinggal di kota besar, umumnya setiap rumah tangga punya satu asisten rumah tangga (ART). Karena terlalu enak dibantu oleh ART, kita sering kewalahan jika nggak punya ART. Sampai lupa (atau malah nggak tahu) bagaimana mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Bukan, bukan berarti saya anti ART. Butuh banget malah. Namun, saya merasa sangat penting mengajarkan anak sejak dini berbagai keterampilan urusan rumah. Mulai dari yang paling mudah: meletakkan kembali barang yang sudah dipakai di tempat semula, membuang sampah pada tempatnya, menaruh pakaian kotor di tempat khusus, dan membereskan mainan setelah bermain. Semakin besar anak, semakin bertambah pula 'tugas'-nya di rumah. Itu pun bukan 'tugas' semata, bukan juga pekerjaan rumah (PR), tetapi modal bagi anak untuk mandiri, berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri. 

Pada dasarnya, itulah peran orang tua, yakni mendidik anak untuk mandiri, sehingga anak mampu mengurus dirinya sendiri. Yang kadang terjadi malah sebaliknya, mengurus semua keperluan anak sampai hal terkecil, dengan alasan supaya cepat dan nggak ribet. Anak pun akhirnya jadi enggan dan tak tahu cara mengurus dirinya, karena TERBIASA diurus oleh orang tua. Bayangkan kalau ini berlangsung bertahun-tahun hingga si anak remaja, pusing 'kan? 

Usaha memenuhi kebutuhan diri sendiri itulah yang disebut merdeka, belajar untuk bergantung pada diri sendiri. Pelajaran ini susah susah gampang lho mengajarkannya. Ya itu tadi, balik pada hasrat orang tua ingin melindungi dan membantu anak sebisa mungkin. Sering merasa nggak tega minta tolong pada anak, atau merasa kasihan kalau anak diberi pekerjaan rumah tangga padahal sudah capek seharian sekolah.

Namun, pernyataan berikutnya adalah kita, orang tua, belum tentu bisa mendampingi anak terus menerus. Nanti ada masanya si anak akan pergi berkemah di gunung bersama teman-temannya, ikut kegiatan karyawisata seminggu, atau bahkan kuliah di kota lain dan harus nge-kost. Kalau semua urusan rumah, yang sebetulnya keperluan pribadi si anak, kita kerjakan terus, bagaimana ia akan melakukan itu nanti saat tak bersama kita? 

Jadi, yuk mulai memberikan kesempatan pada anak untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Sedini mungkin, seperti check list yang saya dapat dari posting teman saya di atas. Membiasakan suatu hal pada anak tak akan membuat pekerjaan itu terasa berat, karena sudah terbiasa dan tahu itu kebutuhannya. Dengan memberikan kesempatan, anak belajar mencoba melakukannya, sehingga tahu kalau melakukan pekerjaan rumah tangga itu nggak sulit. Ia pun akan percaya diri dan yakin bahwa ia bisa mengandalkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Sesekali pasti ia akan bertanya dan meminta tolong pada kita, tapi lambat laun ia akan terbiasa dan mau melakukan urusan rumah tangga dengan senang hati. Semua itu demi masa depan anak!

Bantu anak memperoleh kemerdekaan diri, ini tugas utama kita sebagai orang tua. :)

DIRGAHAYU KE-69 NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

MERDEKA!


Wednesday, August 06, 2014

Idul Fitri 1435 H

Alhamdulillah, tahun ini saya bisa berlebaran bersama keluarga besar di Jakarta, seiring kepindahan kami sekeluarga secara bertahap ke ibukota. Rasanya nikmat bisa berpuasa dekat orang tua, tetapi nggak enak juga jauh-jauhan sebulan dengan suami, hehehe. Semoga bulan ini kami segera kruntelan bertiga lagi, suami, saya, dan Rasya :)
Masih dalam masa transisi begini, semua masih abu-abu, belum terang benar. Namun, ada enaknya juga, waktu bersama Rasya lebih banyak dan saya banyak mengamati perkembangan bahasa Rasya yang luar biasa pesat! Sangat mengagumkan, mengingat tiga bulan lalu ia baru bisa mengucapkan 'Mama' saja. Nggak enaknya ya.....belum ada dana segar yang mengalir ke rekening hihihi. Mohon doa ya supaya saya lekas berjodoh dengan pekerjaan baru. Amiiinnn! 

Oya, saya juga berutang cerita soal sekolah Rasya nih, dan beberapa cerita lain yang masih tertunda. Tunggu ya! :D

Atas nama saya pribadi, saya menghaturkan:

Selamat Idul Fitri 1435 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Amplop, amploppp! Ada yang mau?

Thursday, July 17, 2014

Catatan Rasya (27): Tak Terbendung Lagi!

Jadi ibu itu harus sabar. Sabar menghadapi segala tingkah laku anak, dari yang lucu menggemaskan sampai yang bikin sebal plus kesal. Penambahan ekstra sabar juga berlaku untuk urusan pencapaian milestone anak. Dalam cerita ini, saya sempat berpikir ingin membawa Rasya ke dokter spesialis tumbuh kembang anak, mungkin saja perlu terapi wicara. Sampai saya menulis cerita ini, bahkan saat saya sudah di Jakarta pun, saya belum membawa Rasya ke sana. 

Alasannya, tanggul Rasya sudah jebol! 

Iya, bendungan yang selama ini menahan kemampuan Rasya memproduksi kata sudah terbuka perlahan tapi pasti! Dalam waktu kurang dari 30 hari sejak saya berhenti bekerja, kamus kosakata Rasya bertambah banyak. Apalagi sejak saya pindah ke rumah orang tua yang lebih ramai, membuat Rasya semakin cepat dan aktif belajar kata-kata baru. Setiap hari ada saja kata-kata baru yang ia ucapkan. Itu saja sudah mengundang decak kagum dari diri saya, dan tentu saja rasa bangga serta syukur, Alhamdulillah.

Ditambah lagi Rasya mulai masuk PAUD di dekat rumah, semoga saja ini mampu merangsang Rasya untuk lebih pintar merangkai kata dan bersosialisasi. Soal sekolah akan saya ceritakan pada tulisan lain ya. 

Sebelum lupa, saya coba mendaftar kata-kata apa saja yang sudah fasih dilafalkan Rasya.

Nama orang/keluarga
Benda
Warna
Kata kerja
Rasya (caa-caah)
air (aa-iii)
biru (bi-uu)
mau
Mama
cincin (ci-cin)
merah (me-haa)
main
Yayah
bis
hijau (hi-jau)
bobo
Akas (aaa-kaass)
pampers (paepes)
kuning (ku-ni)
makan (mam)
Mbay (mbai)
(shuttle) cock
ungu (u-uu)
minum (mi)
Uti (uuu-iii)
bola (bol)
putih (pu-ti)
nggak (gak!)
Atung (aaaa-uung)
kue (kueh)
hitam (hi-taa)
naik
Oom Gilang (om jiii)
jeans (jis)
jingga (ji-gaa)
best : hebat, pintar
Oom Kiky (om cici)
keju (ke-hu)
pink (ping)
bau 
Memey



Nova (ooo-paa)



Nin



Mbak



Kakak



Dedek



Ibu



Bapak



Bayi, baby (be-bi)




Dari pengalaman ini, saya semakin yakin bahwa anak punya timing sendiri untuk mencapai milestone-nya. Berhentilah membandingkan anak dengan anak orang lain, nyaris tak ada hasilnya, kecuali kita sendiri yang makin stress dan pusing. Bandingkan saja perkembangan anak dari bulan ke bulan, peningkatan sekecil apapun pasti membuat kita bahagia luar biasa melihatnya! Oya, sedikit menutup telinga terhadap komentar-komentar negatif soal tumbuh kembang anak juga boleh kok. Saya pernah merasa agak tersinggung dibilang kurang bawel gara-gara Rasya masih sedikit bicara. Tapi dipikir-pikir lagi, kok rugi amat tersinggung, saya juga yang capek ati kan

Selama kita tahu bahwa anak betul sehat dan proses tumbuh kembangnya baik, lakukan saja apa yang menurut kita BENAR untuk ANAK KITA. Perhatikan juga masukan dari orang terdekat, yang tahu persis bagaimana perkembangan anak kita. Kalau ada yang mengkhawatirkan, nggak ada salahnya kok pergi ke dokter. Browsing sana-sini juga boleh, tetapi jangan menyimpulkan sendiri yaa, terutama jika kita tidak punya latar belakang medis. 

Sudah tentu, stok sabar juga harus diperbanyak! Percaya deh, buah kesabaran itu manis dan nikmat, senikmat mendengarkan kata-kata mengalir deras dari bibir mungil si kecil :D

Aaa-iiii(r)!

Powered by Blogger.