Rumus Membangun Keluarga Bahagia, Apakah Itu?

Pexels.com/Kat Jayne

Siapa bilang baby blues datang setelah melahirkan anak pertama saja?

Saya mengalaminya tiga kali. Benar, tiga kali baby blues usai melahirkan tiga anak.

Tiga kali baby blues ini saya alami dengan intensitas berbeda-beda. Awalnya, saya berpikir, “Ah, nggak mungkin sampai baby blues.” Tapi, kenyataan berbicara lain.

Rasya

Pasca melahirkan Rasya, baby blues itu datang sekitar dua hingga tiga minggu setelah melahirkan. Saya ingat benar, suatu pagi di kamar, hanya berdua Rasya di rumah, saya menangis tersedu-sedu sambil menyusuinya.

Rumah sepi, suami pergi kerja, tidak ada yang bantu cuci pakaian, badan belum pulih benar setelah operasi. Saya merasa sendirian, sedih, dan kesepian saat itu.  

Runa

Lima tahun setelah Rasya lahir, baby blues hadir dalam wujud keengganan membangun kelekatan dengan Runa, anak kedua saya. Waktu itu saya tidak begitu antusias dengan kelahiran Runa.

Saya berpikir tugas saya cukup menyusui Runa, selebihnya ada Mama dan tante yang mengurus. Tidak ada perasaan membuncah bahagia luar biasa setelah ia lahir. Hanya terasa datar, biasa saja, dan bingung harus berbuat apa saat bersama Runa.

Rezi

Dua tahun usai kelahiran Runa, baby blues kembali mampir setelah saya melahirkan Rezi. Kali ini intensitasnya lebih besar karena saya merasa tekanan dan tuntutan peran ibu begitu besar. Ada tiga anak yang harus saya urus, belum lagi urusan rumah. Jangan tanya bagaimana ribetnya ketika mereka bertiga meminta perhatian saya.

Kurang tidur, badan remuk, mood kacau balau, kepala sakit, hingga ke-judes-an saya meningkat drastis. Percuma bikin to-do-list dalam otak setiap hari karena semua pasti berantakan. Rasanya, saya hanya hidup dari menit ke menit saja, tanpa sempat berpikir mau apa besok.

Baby Blues Itu Nyata!

Melahirkan memang momen terbaik seorang ibu, tetapi juga bisa menjadi momen terburuk. Data National Institute of Mental Health, sekitar 80% ibu baru mengalami baby blues. Gejala ini dirasakan ibu pada satu minggu hingga satu bulan usai melahirkan.

Perasaan ibu melaju bak roller coaster. Kadang senang, tetapi di menit berikutnya sedih dan cemas soal banyak hal seputar peran sebagai ibu. Campur aduk memang dan itu wajar. Kita boleh “menyalahkan” menurunnya kadar hormon dalam tubuh ibu setelah melahirkan. Tambah lagi ini adalah minggu-minggu awal kelahiran bayi. Ibu dan bayi sama-sama masih menyesuaikan diri dalam membangun rutinitas baru.

Pexels.com/Nickolay Osmachko

Ibu (dan juga ayah) harus menghadapi semua perubahan itu berbarengan. Nggak ada jeda sama sekali untuk mengurai atau mempelajari satu per satu. Suka nggak suka, ibu langsung tenggelam (dan terjebak) dalam situasi ini, tanpa sempat menyiapkan mental.

Seolah tekanan dari dalam diri masih belum cukup, ibu sering berhadapan dengan keluarga, teman, atau kerabat yang datang menjenguk. Oke, dijenguk setelah melahirkan memang senang. Namun, berapa banyak dari kunjungan itu yang bertanya bagaimana kabar ibu?

Ini masih ditambah lagi dengan pertanyaan penting nggak penting atau saran yang sebetulnya kita pun sudah tahu, tapi susah dilakukan karena kendala tertentu. Misalnya, “ASI kamu sedikit ya? Bayimu nggak kenyang tuh,” atau “Kenapa melahirkan secara caesar? Padahal, melahirkan normal enak lho!”

Si kecil adalah “bintang” utama. Ibu cukup ambil peran pembantu. Semua mata tertuju pada bayi mungil ini, sementara ibu dilupakan. Apakah pendapat ini berlebihan? Nggak kok. Faktanya, hal-hal kecil seperti itu justru berperan dalam membuat seorang ibu merasakan baby blues.

Ya, baby blues itu nyata.  Malah, jika terus menumpuk, bisa mengarah pada post partum depression. Boleh jadi, hal ini melatarbelakangi berbagai kasus tindak pidana yang dilakukan beberapa ibu kepada anak kandungnya sendiri. Baby blues bukan hanya dalam pikiran semata ketika tidak lekas tertangani.

Begini Cara Menangani Baby Blues

Suatu pagi sambil memangku Rezi yang baru terlelap, saya membuka Instagram Stories sebuah komunitas ibu. Membaca setiap kalimat yang muncul membuat mata berkaca-kaca, basah, dan mengalir tanpa henti. Bahkan, hingga saat saya me-repost stories itu.

Di titik itu, saya yang masih berusaha sok kuat dan terus mengingkari soal baby blues ketiga, akhirnya menerima dan mengakui perasaan ini. Saya mengizinkan diri untuk menangis pagi itu sambil memeluk Rezi.

Beberapa pesan dari para sahabat muncul memberi semangat. Saya pun jujur soal perasaan kewalahan yang dirasakan. Rasanya? Lega karena bisa membicarakan itu semua secara gamblang, seperti ada beban yang terangkat sedikit dari bahu.

Pexels.com/Bruce Mars

Dari situ, saya tersadar bahwa mengakui dan menerima bahwa kita mengalami baby blues adalah langkah awal untuk menangani roller coaster emosi ini. Walhasil, kita jadi lebih terbuka pada orang lain. Kita pun lebih siap menerima pertolongan untuk pulih fisik dan psikologis.

Baby blues termasuk salah satu isu kesehatan mental yang tengah jadi sorotan. Apalagi, peran ibu begitu sentral dalam tumbuh kembang anak sebagai generasi masa depan bangsa. Kesehatan mental ibu harus menjadi prioritas.

Maka, meski baby blues akan menghilang perlahan setelah satu bulan, kita bisa menanganinya lebih awal dengan cara berikut.

Turunkan standar dan bersikap realistis. Nggak semua hal bisa kita kerjakan hari itu. Pasti ada saja hal yang tertunda, wajar kok. Berharap semua berjalan sesuai rencana hanya akan membebani pikiran kita sendiri dan kecewa jika tidak berhasil dilakukan. Realistis saja dan lakukan apa yang terbaik pada situasi itu.

Jangan melakukan semua sendiri. Sekuat-kuatnya ibu, ibu tetap manusia, bukan wonder woman. Meski jargon “stay strong” bisa menyemangati, tetapi boleh kok mengibarkan bendera putih sesekali. Simpel tapi kadang susah kita lakukan hanya karena kita merasa sekuat itu. Padahal, jauh di lubuk hati terdalam, kita berteriak minta tolong ingin dibantu.

Beri reward untuk diri sendiri. Ini zamannya self-care, maka kita perlu memberi reward untuk diri sendiri usai melalui badai hebat hari itu. Nggak usah mahal-mahal, seperti secangkir kopi panas, semangkok mie instan hangat, nonton drama Korea, atau mandi lama-lama tanpa interupsi! Secara berkala, buat diri kita sebagai prioritas, bukan melulu soal bayi atau rumah. Kita layak lho untuk itu.

Pakai pakaian favorit. Ibu di rumah identik dengan daster belel dan robek sana-sini. Nyaman sih, tapi nggak ada salahnya mengenakan pakaian favorit meski hanya di rumah. Sedikit berdandan bisa membuat kita merasa happy ketika melihat bayangan diri kita di cermin. When it makes you feel good, then just do it.

Keluar rumah untuk berganti suasana. Hanya pergi ke warung dekat rumah atau posyandu saja bisa membuat mood berubah. Rasa sumpek sedikit pudar dan kita merasa “bebas” sejenak dari kungkungan rumah.

Googling seperlunya. Kecenderungan ibu-ibu generasi milenial adalah googling semua hal. Meski ini bagus, terlalu sering mencari suatu informasi di internet bisa membuat kita kewalahan menerima dan mencernanya. Too much googling will kill you. Alih-alih merasa tenang, kita malah diliputi kekhawatiran akan hal-hal yang belum pasti terjadi.

Buka media sosial seperlunya. Kalau kita tipe orang yang gampang terbawa perasaan, mending nggak usah buka media sosial atau stalking orang lain. Salah-salah kita malah muncul rasa iri, tidak suka, kesal, hingga cemas. Ini bisa membuat baby blues semakin menjadi, terutama ketika kita diam-diam membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Cari teman bicara ketika butuh pertolongan. Tidak ada yang salah dengan mengalami baby blues. Kita tidak sendirian kok. Ada banyak ibu di luar sana yang bernasib sama. Namun, jangan sungkan mencari teman bicara saat butuh pertolongan, mulai dari suami, keluarga, teman, hingga profesional seperti psikolog.


Nah, kalau kamu seorang ibu yang tengah bergulat dengan baby blues dan butuh pertolongan pertama ke psikolog, mampir saja ke ibunda.id. Platform ini memberikan tempat curhat dan konsultasi online berbasis psikologi untuk berbagai kalangan usia. Kamu bisa bercerita apa saja: masalah diri, percintaan, pertemanan, dan keluarga. Semudah itu!

Maka, isu kesehatan mental memang perlu mendapat perhatian ekstra dari segala kalangan usia, termasuk soal baby blues. Jelas ya kalau isu ini bukan hal remeh, jangan sekali-kali menyepelekan atau menganggap baby blues nggak penting!

Pexels.com/J Carter

Lebih lanjut, sejatinya rumus membangun keluarga bahagia berawal dari satu langkah, yaitu membuat dirimu sendiri bahagia lebih dulu. Anak tidak perlu sosok ibu sempurna, tetapi ia lebih membutuhkan ibu yang bahagia lahir batin. Happy mom, happy kids, happy dad, happy family.

Jadi, apakah kamu sudah jadi ibu yang bahagia? 



“Karya/tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Journalist Challenge by
Ibunda.id, platform karya anak bangsa yang menyediakan layanan kesehatan
mental berbasis teknologi.”

3 comments:

  1. S128Cah merupakan salah satu Situs Betting Online Terbaik Sepanjang Masa yang menyediakan semua permainan Populer, seperti :
    - Sportsbook
    - Live Casino
    - Sabung Ayam Online
    - IDN Poker
    - Slot Games Online
    - Tembak Ikan Online
    - Klik4D

    Kami juga menyediakan PROMO BONUS yang sangat menarik untuk para member tercinta kami.
    Berikut PROMO BONUS yang tersedia :
    - BONUS NEW MEMBER 10%
    - BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
    - BONUS CASHBACK 10%
    - BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!

    Untuk informasi lebih lanjut, bisa hubungi kami melalui :
    - Livechat : Live Chat Judi Online
    - WhatsApp : 081910053031

    Link Alternatif :
    - http://www.s128cash.biz

    Judi Bola

    Cara Daftar Judi Bola

    ReplyDelete

Powered by Blogger.