Antara SAHM dan Freelancer

Tidak terasa sudah empat bulan saya berhenti bekerja kantoran. Kepindahan saya dan anak-anak ke Bontang membuat saya harus memilih antara keluarga dan kerja. Tentu saja, prioritas utama adalah keluarga. Rasa enggan berjauhan dengan suami mendorong saya dan anak-anak untuk boyongan mengikuti suami.

Harapan saya ketika pindah, saya segera mendapat pekerjaan baru. Namun, ternyata mencari kerja yang sesuai dengan situasi saya saat ini nggak gampang. Alhamdulillah saya masih disibukkan dengan pekerjaan freelance writer, tester psikotes, atau menjadi narasumber parenting class sesuai permintaan. Honornya bisa untuk tambah-tambah uang belanja hehehe.

Namun, saya tetap berharap bisa bekerja lagi. Bukan apa-apa, penghasilan bulanan itu membuat hidup kami bisa lebih pasti. Menghidupi dua anak hanya dengan gaji suami bisa, tetapi pas. Sementara, kebutuhan kami juga nggak sedikit. Jadi, ya memang harus realistis kan?

Di atas semua itu, saya perlahan mengakrabkan diri lagi dengan peran utama saya sebagai ibu. Tiga tahun di Jakarta dan menumpang di rumah orang tua itu sungguh membuat tugas saya lebih mudah. Saya absen memasak makanan rumah, nggak pusing urusan cuci setrika baju, plus bersih-bersih. Cukup fokus pada pekerjaan dan Rasya.

Namun, di sini, di rumah kami sendiri, saya harus jadi full-time manager. Semua saya urus sendiri: masak, cuci setrika (kadang panggil orang sih, atau jasa laundry), bersih-bersih, urus anak-anak, dan semuanya, you name it.

Nikmatnya, saya bisa tidur siang. Oh, tapi jam kerjanya nggak tentu. Sebagai morning person, saya lebih suka bangun pagi buta dan menyelesaikan semuanya sebelum anak-anak bangun. Jadi, pagi hari saya tinggal leyeh-leyeh bareng Runa, dan jemput Rasya. Setelahnya? Ya tergantung anak-anak. Kalau pada bisa diajak tidur siang, enak, bisa tidur juga. Kalau nggak, ya selamat deh, nemenin mereka main hahaha.

Jadwal bisa berubah kalau saya sedang ada kerjaan, terutama yang bisa dikerjakan di rumah. Pagi dan siang saya sempatkan untuk menyicil kerjaan, meski berarti mengurangi waktu bermain dengan anak-anak. Malam juga begitu, terutama habis Runa tidur, baru saya kerja. Atau ya sama-sama tidur dulu, dan saya bangun jam 2 pagi untuk bekerja.

Jujur, bekerja freelance begini lebih melelahkan dari segi waktu. Saya harus fleksibel dan betul-betul pintar mengelola waktu yang ada. Kalau kita termasuk suka jadwal rutin, pasti bakal kaget banget awalnya. Plus, buat target sendiri itu harus! Karena kalau nggak ada target, kita jadi terlena dan nggak memaksakan diri untuk mengerjakan tugas yang ada.

Maka itu, menurut saya, kerja freelance lebih cocok untuk orang yang bisa memacu dirinya sendiri bekerja dengan batas waktu tertentu. Motivasinya harus dari dalam diri, bukan dari orang lain.
Sederhananya begini: nggak aktif cari kerja, uang nggak datang.

Serius, kenyataannya begitu. Peluang selalu ada, tapi berapa kali kita mau tergerak menyambar peluang itu?

Dan ya, kembali lagi ke tugas utama saya sebagai ibu. Sesibuk apapun, saya harus atur prioritasnya. Keluarga nomor satu, kerjaan nomor dua, cucian dan setrika nomor tiga dan bisa oper ke jasa laundry :D

Walau saya sendiri masih berjuang untuk menemukan pola yang pas dalam berbagi peran ini, saya tetap bersyukur bisa bertahan di sini. Kadang kalau lagi capek banget, saya bisa cranky berat. Suami sih paham kalau saya lagi keluar tanduknya, tinggal disuruh tidur aja bisa adem lagi. Atau libur masak dan beli makanan favorit, senyum saya pasti mengembang lagi.

Jadi, siapa saya sekarang: stay at home mom atau freelancer?
Keduanya!

No comments:

Powered by Blogger.