Rumah Cokelat, potret keluarga muda masa kini

Sitta Karina adalah penulis favorit saya. Saya pernah menulis tentang buku-buku Sitta Karina favorit saya di sini. Selama ini ia dikenal sebagai penulis teen lit, semua novel terdahulunya banyak menceritakan kehidupan remaja dengan segala permasalahannya. Namun, kali ini ia hadir dengan genre Mom Lit, buku yang menceritakan sosok perempuan sebagai istri dan ibu, baik sebagai wanita karir maupun ibu rumah tangga.  


Rumah Cokelat mengisahkan kehidupan Hannah Andhito, seorang ibu muda yang memiliki karir menjanjikan. Ia bersuamikan Wigra Andhito, tipe suami idaman, rupawan dan gagah seperti Eric Dane (yap, Mark Sloan di Grey's Anatomy!), dan ibu dari Razsya, laki-laki kecil yang aktif dan pintar. Hidup Hannah tampak sempurna di mata orang lain, tetapi tidak bagi Hannah. Masalah bermula ketika ia merasa 'kalah saing' dengan Upik, asisten rumah tangganya yang mengasuh Razsya. Pekerjaan ditambah kemacetan Jakarta menjadi momok tersendiri bagi Hannah, terutama soal bagaimana ia membagi waktu antara karir dan keluarga. Ia merasa waktunya bersama Razsya kurang. Razsya tampak lebih akrab dan dekat dengan Upik. Keuntungan bagi Hannah memang, tetapi pada saat bersamaan juga menyayat hatinya ketika Razsya sangat mengandalkan Upik, bukan Hannah yang notabene ibunya. Belum lagi perbedaan pola asuh antara dirinya dan sang ibu. Eyang Yanni tipe nenek yang sangat memanjakan cucu, membuat Hannah panik ketika menemukan ada banyak aturan yang ia buat 'dilanggar' begitu saja oleh Razsya karena diperbolehkan oleh Eyang Yanni. Hannah pusing tujuh keliling: ia ingin memenangkan hati Razsya kembali, ia ingin punya waktu lebih banyak bersama Razsya, tetapi apa yang harus ia lakukan?

Membaca Rumah Cokelat seperti mengukuhkan semua stereotipe saya tentang seorang ibu. Ibu seolah tidak punya waktu untuk beristirahat, bahkan untuk dirinya sendiri. Menjadi ibu berarti selalu siap siaga 24/7 alias 24 jam tujuh hari seminggu (iya, seperti McDonald yang buka 24/7). Belum lagi bagaimana perasaan seorang ibu yang bisa dengan mudahnya naik turun, apalagi menyangkut anak. Ini juga yang diungkapkan oleh Sitta Karina.
Betapa jungkir baliknya perasaan seorang ibu; dari kesal ke senang ke sedih ke gemas ke protektif, namun semua dapat diwakilkan hanya dengan satu kata, yaitu cinta.(hlm. 107)
Membuka halaman-halaman awal, saya mengamini perasaan Hannah yang berusaha melakukan multitasking: mendengar cerita Razsya sambil berkonsentrasi pada majalah gosip, dan berujung kegagalan. Pun saat Eyang Yanni menuduh Hannah terlalu sibuk dengan gadget-nya saat bersama Razsya. Iyaaa, itu semua tipikal ibu-ibu muda zaman sekarang, termasuk saya! 

Meskipun demikian, ada beberapa bagian yang terasa begitu cepat alurnya. Tadinya saya berharap dapat menemukan adegan saat Razsya di day care Pelangi Kecil. Begitu juga bagaimana proses transisi Hannah dari wanita karir menjadi ibu rumah tangga. Jujur saja, bukunya terlalu tipis untuk ukuran seorang Sitta Karina. Rasanya, Lukisan Hujan, Titanium, atau Pesan Dari Bintang lebih tebal, tapi tetap dengan alur cerita yang pas. Saya ingin membaca pergulatan hati Hannah lebih lama :)

Selain itu, saya membayangkan bagaimana jika Hannah tetap bekerja. Solusi seperti apa yang akan ia ambil?   Pasti tantangannya akan lebih besar bukan? 

Nah, adegan favorit saya adalah moment Wigra dan Razsya di playground saat malam hari. Begitu intim dan hangat. Saya pun langsung membayangkan kelak Wigra versi saya (alias suami) juga punya moment serupa bersama Rasya (my Razsya, cuma beda penulisan). Apalagi tipe suami mirip-mirip dengan Wigra, ayah yang dekat dengan anak, meski sekarang Rasya belum genap sebulan. Percaya deh, melihat suami bisa begitu dekat dengan anak akan membuat kita jatuh cinta lagi, persis seperti yang Hannah rasakan! :">

Secara keseluruhan, Rumah Cokelat adalah bacaan ringan tetapi menggelitik. Di sini Sitta Karina tetap mampu membuat kita memproyeksikan diri lewat kisah yang ditulisnya, sangat khas karyanya. Perasaan hangat setiap selesai membaca buku Sitta Karina tetap muncul, seperti yang saya alami saat membaca  satu buku ke buku lainnya. Begitu juga setelah membaca Rumah Cokelat. Meski bukan buku favorit saya, cerita seperti ini tetap saya tunggu. Mudah-mudahan Sitta Karina akan menulis Mom Lit lainnya, dengan permasalahan dan tantangan yang lebih kompleks! :)

"So let's dance in the rain too, instead of just surviving the storm." ~Wigra Andhito (hlm. 199)

No comments:

Powered by Blogger.